1. Undang-Undang Perbendaharaan Hindia Belanda (Indische Comptabiliteitswet) tahun 1867 yang menyatakan bahwa anggran belanja Hindia belanda harus ditetapkan dengan undang-undang, jadi dengan persetujuan Parlemen belanda
2. Undang-Undang Gula (Suikerwet) tahun 1870, berisi ketetapan bahwa tanaman tebu adalah tanaman monopoli pemerintah berangsur-angsur akan dihilangkan sehingga di Pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta.
3. Undang-Undang Agraria (Agrarichwet) yang berisi : • Tanah di Hindia Belanda (Indonesia) dibedakan atas dua, yakni tanah rakyat dan tanah pemerintah • Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifanya bebas dan tanah desa yang miliknya tidak bebas. Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada bangsa asing, hanya boleh disewakan • Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah milik atau disewakan selama 75 tahun
Melalui kebijakan tanam paksa, kepemilikan modal tetap diberikan kepada swasta yang bekerjasama dengan pemerintah. Kebijakan ini memunculkan sejumlah besar modal asing yang berasal dari Eropa dan Amerika. Era ini kemudian dikenal dengan Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Selain muncul begitu banyak perkebunan, seperti teh,kopi,kina, serat nanas, kelapa sawit, juga terdapat pembukaan pertambangan di Hindia Belanda, seperti minyak di Sumatera dan Kalimantan, batubara di Sumatera Barat dan Selatan, serta timah di Kepulaan Bangka. Masuknya modal swasta ini, kemudian menuntut bukan hanya keuntungan, tetapi dengan keuntungan yang diperoleh ini mampu memberikan keuntungan lagi melalui proses industri yang bernafaskan efisiensi dan efektivitas. Kemudian muncullah jalur kereta api di Hindia belanda, jalan raya, pelabuhan dan sejumlah infrastruktur lainnya demi tercapainya modernitas, khususnya sektor pertanian. Gaya kapitalis negara, berubah menjadi kapiltalis industri yang didominasi pengusaha-pengusaha Eropa dan Amerika. Era baru masuknya modal ini justru membuat masyarakat semakin sengsara. Kondisi pertanian dalam negeri bersifat eksplosif dan eklsploitatif demi memenuhi kebutuhan ekspor dan pendapatan negara Belanda. Sedangkan para petani semakin sulit unutk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kolonialisme telah mengubah struktur masyarakat Indonesia dan pola pertanian bangsa ini. Berdasarkan pola tanam baru ini (cultuuer stelsel), secara tidak langsung mengubah transformasi agraria di Indonesia. Masyarakat Indonesia dipaksakan menyeragamkan komoditi pertanian demi kepentingan ekspor. Padahal masyarakat Indonesia masih menerapkan pola pertanian tradisional yang bersifat subsisten. Petani Indonesia pada dasarnya menggunakn pola produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kalupun terdapat kelebihan produksi (over production), kelebihan produksi ini dipertukarkan dengan kebutuhan pokok lainnya. Hal ini berubah setelah pihak kolonial menerapkan pola tanam paksa, dengan memaksa petani menanamkan produk-produk pertanian berorientasi ekspor yang laku di pasar internasional, seperti kopi, teh,kina,kapas, kelapa sawit . Selain itu, penggunaan asupan pertanian baru seperti pupuk kimia, traktor, mesin giling, dan berbagai input lainnya membuat pola pertanian Indonesia bergantung kepada asupan peningkatan produksi pertanian dari luar negeri. Sistem produksi pertanian Indonesia rentan terhadap input-input pertanian yang berasal dari Eropa. Berikutnya adalah hancurnya transformasi agraria di Indonesia. Secara sederhana, transforma agraria adalah peralihan masyarakat dari feodal dan agraris ke masyrakat kapital dan industrialis. Berpindahnya penduduk pedesaan yang semula agraris menjadi pekerja sektor modern karena tumbuhnya berbagai bidang kerja sektor modern. Struktur masyarakat pertanian Indonesia, idealnya mengalami hal ini, tetapi dihambat oleh arus kolonialisme. Konsepsi Adam Smith bahwa dalam proses transformasi agraria akan memunculkan kelas pekerja, tuan tanah dan kelas kapitalis. Upah, sewa tanah dan modal merupakan output dari munculnya ketiga kelas sosial tersebut. Masyarakat Barat melewati proses yang menyeluruh dari transformasi agraria. Kelas tuan tanah memiliki surplus pertanian yang dikonversi menjadi teknologi pertanian yang berevolusi menjadi industrialisasi. Terjadinya industrialisasi yang menuntut efektivitas dan efisiensi produksi membuat sektor pertanian mengalami evolusi menjadi pertanian berbasis agroindustri dan agrobisnis. Kelas tuan tanah berubah menjadi kelas pemilik modal (kapitalis). Ditambah dengan berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi, maka proses transformasi masyarakat petani di Eropa berjalan maksimal dan menyeluruh. Sedangkan di Indonesia, pasca masuknya modal asing dan perubahan pola pertanian lokal, maka proses transformasi juga berjalan mandet, bahkan tidak berjalan sama sekali. Masyarakat petani di Indonesia, dibagi atas petani sawah (Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan), petani ladang berpindah (Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, NTT) serta petani peramu dan pemburu (Papua) . Pihak kolonial menghancurkan tatanan pertanian tersebut dan menggantinya dengan pertanian kapital, dimana surplus pertanian tidak dinikmati oleh para tuan tanah dan kelas pekerja, tetapi dikuasai kelas kapitalis, baik kapitalis borjuis, kapitalis negara maupun kapitalis industri. Kelas tuan tanah di Indonesia semasa diberlakukan open door policy, hanya dijadikan pengumpul pajak dan upeti bagi pemerintah, sebagai imbalannya mereka diberi gaji dan mendaptkan kepercayaan sebagai bagian integral dari pemerintah kolonial. Sedangkan kelas pekerja yang diisi oleh para petani gurem dan miskin, hanya menjadi sapi perah pemodal dan pemerintah. Sistem produksi subsisten diganti menjadi pertanian berorientasi ekspor, yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan petani di Indonesia. Akumulasinya adalah di Indonesia, kelas tuan tanah semakin terlantar dan tidak menikmati sewa tanah dan petani tidak mendapat upah yang layak seperti yang tertera dalam platform wealth of nationsnya Adam Smith. Wealth of nation hanya diberikan kepada pihak kolonial Belanda, sedangkan Indonesia hanya menjadi sapi perahan dan lumbung kuli bagi bangsa lain.
Indonesia adalah bangsa kuli, kuli bagi bangsa sendiri dan kuli bagi bangsa lain.
Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Daendels Jalan Raya Pos
bu,, mw tanya manfaat politik terbuka bagi Indonesia apa ? di tunggu balasan nya
BalasHapus