Selasa, 26 Mei 2009

KULI PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR MASA KOLONIAL BELANDA

A. Latar Belakang Perkebunan Di Sumatera Timur

Perkebunan di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur merupakan daerah perkebunan Tembakau, Karet, Kelapa Sawit). Daerah Sumatera Timur merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak J. Nienhuys membuka perkebunan Tembakau disana, tahun 1864. Tembakau Deli yang menjadi komoditas ekspor sehingga menjadi terkenal di pasaran Eropa. Perkebunan di Sumatera Timur yang begitu luas membuat kekuarangan tenaga kerja.

Perkebunan besar (onderneming) di Sumatra Timur yang dirintis oleh Nienhuys, membawa tanaman Tembakau dan menanamnya di lahan Sumatra Timur melalui kontrak tanah dengan Sultan Deli pada tahun 1863 selama 75 tahun.[1] Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah Tembakau yang sangat terkenal di pasaran Tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.

Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda di Sumatra Timur semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.

Dalam waktu yang singkat maka Sumatera Timur menjadi perkebunan yang besar. tahun 1916 tercatat 320 perusahaan besar ( tidak termasuk cabang) yang beroperasi didareah Deli Serdang sekitar 120 perusahaan, Langkat 67 perusahan, simelungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan. Begitu pentingnya arti Sumatera Timur bagi Belanda sehingga di semboyankan ”Molken Is Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de Toekomst”, artinya Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang. [2]

Di Sumatra Timur sendiri berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah. Yang pertama adalah sistem Vorstdomein. Menurut sistem ini raja selaku kepala negara dianggap sebagai pemilik dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk digarap. Rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja sebagian besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik sepenuhnya atas tanah.

Di sisi lain, berlaku juga prinsip Volksdomein. Menurut prinsip ini tanah merupakan hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia menghuni dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya yang diakui secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan tanah-tanah semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah adat dengan hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama kepentingan adat menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.

Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan raja/ sultan yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di wilayah Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para pengusaha perkebunan berhak juga melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha perkebunan menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.

B. Kondisi Buruh Perkebunan di Sumatera Timur

Berkembangnya perkebunan besar di Sumatera Timur pada pertengahan abad XIX telah menarik penguasaha-penguasa prkebunana untuk menanamkan modalnya disana. Orang-orang kulit putih datang kesana untuk membuka dan menjadi penguasaha perkebunan, orang Cina, Jawa india datang sebagai buruh dan orang minagkabau dan Mandailing merantau untuk berdagang. Hidup mereka tergantung pada imbalan yang diterima dari hasil kerja yang hanya pas-pasan. Semua gaji yang diterima habis untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Digambarkan bahwa upaha yang diterima oleh buruh sebanyak 35 sen sehari. Apabila seorang buruh hanya bekerja selama 28 hari dalam satu bulan maka dia akan menerima upah sebasar 9, 80 gulden itu pun masih harus di potong dengan membayar uang panjar ( Vorschoot) sehingga sisanya hanya senilai 2,40 gulden saja. Namun pada kenyataannya para buruh tidaka dapat menabung sisa uangnya, kebanyakan sisa uang tersebut digunakan untuk menonton pertunjukan wayang, berjudi dan bersenang-senang.[3]

Berikut ini adalah rincian biaya hidup rata-rata dalam satu bulan yang di habiskan oleh para buruh perkebunan :

Tabel. Kebutuhan Hidup Para Buruh Perkebunan di Sumatera Timur

Jenis Pengeluaran

Biaya Hidup/Bulan

Korek api

f. 0,10

Garam

f. 0,11

Beras 45 kati

f. 2,22

Ikan asin 5 kati

f. 0,90

Minak makan 2 botol

f. 0,40

Sayur

f. 0,60

Tembakau

f. 0,50

Minyak tanah 5 botol

f. 0,50

Jumlah pengeluaran

f. 5,36

Sisa

f. 2,14

Sumber: Sjarfi Sairin. Majalah Prisma 4 April 1991. hlm.30.

C. Permasalahan Dalam Ketenagakerjaan Perkebunan dan dampaknya Di Sumatera Bagian Timur

Masalah yang timbul pada masa perkebunan di Sumatera Timur adalah kelangkaan tenaga kerja perkebunan. Jumlah tenaga kerja yang kecil sedangkan lahan yang luas menimbulkan keengganan penduduk setempat untuk bekerja sebagai buruh pertanian. Kekurangan tenaga kerja mendorong untuk menarik para pekerja dari luar daerah. Tenaga kerja di ambil dari Cina, Jawa dan daerah yang lainnnya seperti semananjung Melayu (Malaysia dan Singapura ) melalui Broker atau Werver (orang Jawa sering menyebut Werek). Kepentingan para pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja kemudian di lindungi oleh pasal 2 No. 27 dari Politiestrafrglemet voor Inlander.[4] Pada tahun 1871 sekitar 3000 orang Cina bekerja di perkebunan Tembakau Deli.[5] Komposisi tenaga kerja asing di Sumatera Timur oleh Dr. Thee Kian Wie :

Tabel. Jumlah Tenaga Kerja Di Sumatera Timur

Tahun

Cina

Jawa

India

1884

21.136

1.771

1.528

1900

58.516

25.224

2.460

1916

43.689

150.392

-

1920

23.900

212.400

2.000

1925

26.800

168.400

1.500

1929

25.934

239.281

1.019

Sumber: R.Z. Leissera, dkk. 1996.

Sistem perantara yang digunakan dalam pencarian tenaga kerja banyak menimbulkan masalah dan penyelewengan yang dilakukan oleh para Broker/ Werver. Tidak jarang terjadi penculikan dan pembujukan dengan janji-janji yang menyenangkan dengan iming-iming upah yang tinggi. Karena kesulitan dalam menacari tenaga kerja maka pencaraian kerja diserahkan kepada perhimpunan pengasaha perkebunan ( Deli Planters Vereninging). Pada tahun 1888 perhimpunan ini mendirikan biro imigrasi yang mengurus secara langsung selaksi calon pekerja di negeri Cina, pengangkutan tenaga kerja ke Sumatera Timur dan mengurusi masalah keuangan. Namun pada kenyataannnya para werek tidak menyeleksi para pekerja, melainkan siapa yang mau bahkan melalui bujuk rayu kepada calon pekerja. Pada tahun 1888 terdapat kurang lebih 1.152 tenaga kerja Cina, tahun 1889 sebanyak 5.167, dan tahun 14890 sampai 6666 tenaga kerja.[6]

Hal yang mendorong orang Jawa untuk menjadi buruh perkebunan di Sumatera Timur adalah :

1. Menjelang akhir abad ke XIX Jawa telah dijadikan perkebunan tebu. Sehingga pajak bumi.

2. Awal tanah garapan pertani kecil diambil oleh pengusaha-penguasaha perkebunan.

3. Dihapusnya abad ke XX Hindia Belanda sudah kekuarangan beras sehingga terpaksa harus mengimport beras keluar, terutama ke Birma yang menyebabkan harga beras menjadi mahal.

Untuk keperluan Hindia Belanda maka tahun 1888 di bentuk suatu peraturan untuk para buruh perkebunan. Mereka diikat dengan suatu kontrak dengan para pengusaha, namun kontrak tersebut tidak bisa di akhiri dengan buruh. Apabila buruh terserbut melarikan diri maka mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal dengan sebutan Poenale Santic. Suatu hukuman yang kejam yang bisa berupa hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga di bunuh. Dalam tulisan Jan Breman dikatakan bahwa J. Nienhuys, pernah menghukum cambuk pekerja perkebunan sebanyak 7 buruh sampai meninggal. Hal ini yang membuat Nienhuys pergi keluar Sumatera Timur. Kasus lain menimpa pada seorang buruh perempuan yang diikat pada Bungalow tuan kebun dan kemaluannnya digosok dengan lada. Para pemilik perkebunan memiliki otonomi yang begitu luas sehingga perkebunan itu diibaratkan sebagai Negara dalam Negara.[7]

Dengan menandatangani kontrak tersebut secara tidak langsung telah menjerat pekerja perkebunan dengan jaringan hutan-pihutang. Dalam sehari para buruh hanya bisa istirahat 1/20 dari waktu kerjanya. Buruh kontrak dikenakan aturan Ordonantie Koeli maksimum bekerja 12 jam, tapi kenyataannya mereka harus bekerja 13 jam dengan rincian 5 jam menyadap karet, 3 jam menguruh pohon Karet muda, 5 jam mengolah Lateks menjadi Karet mentah.

Poenale Santie sangat melewati batas kewajaran, sehingga timbul protes dari luar perkebunan melalui mass media atau masyarakat Hindia Belanda maupun negeri induk untuk meghapus Peonale santie. Berita itu akhirnya sampai ke Den Haag, sehingga Ratu Belanda memerintahkan kepada gubernur jendaeral untuk melarang tinadakan main hakim sendiri. Sejak itu maka pengadilan hanya dilakukan oleh pemerintah. Begitu gencarnya protes tentang kekejaman tuan kebun di Deli-Serdang membuat pemerintah mengganti peraturan peonale santi dengan koeli ordonansi 1880. Namun koeli ordonansi pada kenyataannya sama dengan peonale santie, para buruh tetap mengalami penderitaan dari siksaan tuan kebunnya. Koeli ordonansi baru dihapus seiring dengan datangnya bangsa Jepang tahun 1941.[8]

1. Konflik Penguasa Dengan Rakyat

Pengusiran penduduk pribumi yang sering disebut dengan istilah rakyat penunggu dari daerah pemukimannya dan larangan mereka untuk menggarap tanah tersebut segera menimbulkan persoalan sengketa. Rakyat merasa bahwa tanah itu adalah milik sultan mereka dan menjadi hak mereka untuk menggarapnya sebagai sumber kehidupan. Persoalan semakin bertambah ketika dalam kontrak sewa tersebut diikutkan juga tanah-tanah ulayat yang diakui secara adat sebagai milik komunal penduduk. Dari tanah-tanah ulayat yang disewa perkebunan, rakyat juga tidak diperkenankan untuk menggarapnya.

Sebagai akibat dari kondisi ini kehidupan rakyat pribumi menjadi tidak menentu, mengingat sumber penghasilan mereka yang diperoleh dari penggarapan tanah tidak lagi ada. Meskipun sebagian dari mereka ada yang berangkat ke kota-kota untuk bekerja sebagai tenaga buruh atau profesional lainnya, namun sebagian besar dan terutama yang tidak mempunyai keahlian tidak bisa meninggalkan kampung halamannya. Mereka hanya bisa mengharapkan bisa kembali menggarap tanah-tanah tersebut dengan berbagai cara

Kondisi pengangguran agraria ini tentu saja menciptakan kerawanan situasi dalam kehidupan. Beberapa tindakan kejahatan sosial muncul sebagai jalan alternatif untuk mencari cara menyelesaikan kebutuhan hidupnya. Dalam laporan para pejabat lokal Belanda yang ditempatkan di wilayah Sumatra Timur tercatat adanya kenaikan prosentase kejahatan di daerah perkebunan dalam perempatan pertama abad XX. Meskipun ada juga yang dilakukan oleh para kuli pendatang, namun keterlibatan oleh penduduk pribumi setempat tidak bisa dihindari.

2. Usaha Penyelesaian

Untuk mencegah kenaikan dan perluasan kriminalitas sosial tersebut, pemerintah Belanda mencoba mencari jalan keluar bersama Sultan dan pengusaha perkebunan. Beberapa cara ditempuh untuk memberi rakyat penunggu ini lahan yang bisa digarap oleh mereka dan dipetik hasilnya. Pertama-tama dari pihak pemerintah ada tekanan kepada pengusaha perkebunan untuk memberikan tanah jaluran yang kosong setelah selesainya panen Tembakau. Tanah-tanah kosong itu sebelum ditanami kembali dengan benih Tembakau bisa digunakan oleh rakyat penunggu untuk ditanami tanaman pangan. Akan tetapi tingkat kesuburan tanah setelah panen Tembakau dan kebutuhan akan air bagi tanaman pangan tidak memenuhi persyaratan. Sebagai akibatnya beberapa kali kegagalan panen terjadi.

Alternatif kedua yang dipilih untuk menyelesaikan perkara ini adalah pemberian karunia Sultan (grant Sultan) dalam bentuk tanah-tanah kosong yang tidak disewakan. Dengan pemberian tanah-tanah tersebut diharapkan agar rakyat penunggu bisa menggunakannya. Meskipun di atas kertas semua terlihat baik dan berjalan lancar, namun dalam pelaksanaannya semua tidak berhasil. Hal ini disebabkan oleh adanya eksploitasi yang dilakukan para kepala adat pribumi sebagai orang-orang yang ditunjuk Sultan untuk mengatur pembagian tanah tersebut. Para kepala adat ini sering melakukan pemerasan dalam bentuk tuntutan penyetoran hasil tanah secara berlebihan dari penduduk penggarapnya. Akibatnya hasil yang diterima oleh penduduk tidak bisa mencukupi bagi kebutuhan hidupnya.

Kondisi tersebut memberi alasan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih wewenang pengaturan agraria dari tangan Sultan. Setelah adanya persetujuan yang disepakati, Kontrolir sebagai pejabat tingkat bawah kolonial menggantikan Sultan dalam menangani kasus tersebut. Untuk itu dia mengeluarkan hak garap atas tanah-tanah yang disebut grant Controleur (karunia Kontrolir). Seperti halnya grant Sultan, tipe tanah-tanah ini mengalami kendala dalam pelaksanaan penggarapannya. Hal itu disebabkan oleh peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial bahwa barang siapa yang menerima tanah itu untuk digarap harus melakukan kerja wajib dalam jangka waktu tertentu bagi kepentingan pemerintah Belanda. Selain itu mereka juga harus menyetorkan sebagian hasil produksinya kepada pemerintah Belanda. Akibatnya penduduk tidak lagi mempunyai waktu untuk bekerja secara maksimal dalam menggarap lahan tersebut.

3. Kolusi Pengusaha-Penguasa

Berbagai macam langkah yang ditempuh baik oleh pengusaha perkebunan, penguasa kolonial maupun penguasa pribumi tradisional tidak bisa mengatasi persoalan rakyat penunggu ini. Pada pihak pengusaha perkebunan berbagai macam kecurangan dilakukan. Mereka tidak lagi mematuhi ketentuan tentang tanah jaluran yang sudah disepakati. Untuk memaksimalkan hasil dan memulihkan biaya sewa kepada para penguasa pribumi, para pengusaha ini lebih suka menyewakan tanah-tanah jaluran kepada bekas kuli kontrak yang sudah menyelesaikan ikatan kerjanya dan tetap bermukim di tempat itu. Hal ini digunakan untuk mengikat juga tenaga kerja yang siap pakai bagi kebutuhan perkebunan. Selain itu sering perluasan tanah-tanah jaluran ini memakan lahan tanah milik penduduk setempat tanpa persetujuan lebih dahulu. Dengan alasan bahwa pengusaha telah membayarkan pajak penduduk kepada Sultan, pengusaha merasa berhak diberi prioritas dalam kebutuhan lahannya dari pada pribumi.


Dalam kasus grant Sultan, banyak terjadi pemerasan dan penipuan yang bersifat eksploitatif dilakukan oleh para bangsawan dan kepala adat seperti penghulu. Mereka meminta quota produksi hasil tanah yang berlebihan dan sering tidak membagikan ganti rugi yang diterima dari pengusaha kepada penduduk. Sikap korup yang digunakan oleh para kepala adat itu menjadi beban bagi penduduk yang tidak lagi bisa mempercayai mereka sebagai jalan keluar permasalahannya.

Tanah-tanah yang ditetapkan menurut Grant Controleur juga tidak bisa digunakan karena batas-batas tanah yang ditunjuknya tidak jelas. Akibatnya sering terjadi sengketa di antara para penggarap dan tidak bisa diputuskan lewat musyawarah. Karena baik Kontrolir maupun Sultan juga tidak mampu menanganinya, tanah-tanah tersebut akhirnya jatuh ke tangan para penyewa Cina bekas kuli kontrak untuk digarap setelah membayar uang sewa kepada kontrolir.


Daftar Pustaka

Bambang Purwanto. 1996. Migrasi dan Kesempatan Kerja: Persoalan Dalam Perkebunan Karet Rakyat. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud.

Budi Agustono. 1996. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia dan Sengketa Agraria di Sumatera Utara. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud.

Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jakarta. Pradnyaparamita.

Daliman,A. 2001. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX : Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. FISE-UNY

Darmiati. 1996. Perpindahan Penduduk Dari Kolonisasi/Emigrasi Hingga Transmigarsi. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Leiressa, RZ. 1996. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta. Depdikbud.

Pelzer J., Karl. Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta. Sinar Harapan.

Rafiz.1991. Penguasaan Tenaga Kerja dan Perkebunan Besar di Sumatera timur: Tinjauan Historis. Majalah Prisma. Cetakan 4 April 1991.

Sjarfi Sairin. Tingkat Upah Buruh Perkebunan di Sumatera Utara. Majalah Prisma. 4 April 1991.

Soegiri DS., Edi Cahyono. 2003. Gerakan Serikat Buruh, Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta. Hasta Mitra.

Suwidji Kartonagoro. 1975. Belajar Membaca Sejarah. Surabaya. Depdikbud.

Zaiyardam ubir. 1996. Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin Sawah Lunto Sumatera Barat. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. Depdikbud.



[1] Penyewaan tanah jangka panjang, selama 75 tahun disebut Erpacht. ( Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta. Sinar Harapan. 1978. ).

[2] Darmiati. Perpindahan Penduduk Dari Kolonisasi/Emigrasi Hingga Transmigarsi. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud. 1996. hlm. 20-21.

[3] Sjarfi Sairin. Tingkat Upah Buruh Perkebunan di Sumatera Utara. Majalah Prisma. 4 April 1991. hlm. 29-31.

[4] A. Daliman. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX : Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. FISE-UNY. 2001. hlm. 63.

[5] Leiressa, RZ.Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta. Depdikbud. 1996. hlm

[6] Suwidji Kartonagoro. Belajar Membaca Sejarah. Surabaya. Depdikbud. 1975. hlm. 336-338.

[7] Soegiri D.S, dkk. Gerakan Serikat Buruh Jaman Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta. Hasta Mitra. 2003. Hlm.112-113.

[8] Darmiati. Op.cit. hlm 22


ttp://www.benyuleander.co.cc/2007/12/kuli-kontrak.html



© 2009 Multiply, Inc. About · Blog · Terms · Privacy · Corporate · Advertise · Contact · Help

Tidak ada komentar:

Posting Komentar