Jumat, 24 April 2009

Dasar-dasar Penelitian Sejarah

| 0 komentar ]

1. metode penelitian sejarah

a) heuristic : berasal dari bahasa yunani , heursken (menemukan), dalam penelitian sejarah , heuristic berarti langkah-langkah untuk mencari dan mengumpulkan berbagai sumber sejarah. Untuk mendapatkan sumber tersebut dapat dilakukan dengan cara mencari dokumen , mengunjungi situs sejarah , mengujungi museum dan perpustakaan , wawancara pelaku atau saksi sejarah .

b) kritik : berbagai sumber sejarah yang telah dikumpulkan belum tentu semuanya dapat diterima , langkah berikutnya adalah menyeleksi atau menguji kebenaran dari sumber - sumber tesebut , langkah itu dinamakan kritik. Kritik terbagi atas kritik intern dan ekstern . kritik ekstern adalah langkah untuk menyeleksi apakah sumber sejarah (seperti prasasti, dokumen, dll)apakah asli atau palsu .

c) kritik ekstern (kritik terhadap keaslian sumber sejarah )diantaranya dapat dilakukan dengan berdasarkan kepada : tipologi (menentukan usia berdasarkan type dari benda budaya), stratifikasi (menentukan umur relative suatu benda berdasarkan pada lapisan tanah dimana benda budaya tersebut ditemukan ), kimiawi (menentukan ketuaan benda berdasarkan pada unsure kimia yang terkandung).

d) kritik intern adalah langkah penyeleksian terhadap isi (materi) dari sumber sejarah (seperti : isi prasasti , isi naskah / dokumen , dll) atau langkah terhadap validitas isi (materi) sumber sejarah. Misalnya sebuah kitab kuno baru dapat di percaya kebenarannya apabila ada keterangan dari prasasti , catatan sejarah yang mendukungnya. Sumber sejarah yang telah terseleksi melalui kritik itulah di sebut dengan fakta .

e) interpretasi : berbagai fakta sejarah yang telah didapatkan kemudian dirangkai sehingga mempunyai bentuk dan setruktur untuk direkrontruksi . dalam proses inilah di perlukan interpretasi , yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah. Dalam menafsirkan suatu faklta mutlak diperlukan landasan interpretasi agar tidak terjadi penafsiran yang tanpa dasar.

Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan suatu fakta di antaranya karena adanya beberapa perbedaan seperti : idiologi, kepentingan, tujuan, penulisan dan sudut pandang

f) historiografi : merupakan langkah terakhir yaitu proses penulisan dan penyusunan kisah masa lampau yang direkrontruksi berdasarkan pada fakta yang telah diberi penafsiran peristiwa sejarah yang dikisahkan melalui historiografi akan sangat di pengaruhi oleh subyektifitas si penulis dalam merekontruksinya.

Dalam penulisan sejarah perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasanya sehingga orang tertarik untuk membacanya . dengan demikian penulisan sejarah mempunyai unsure yang sama dengan penulisan sastra yaitu sama-sama menyajikan suatu kisah , bedanya dalam sejarah .

2.pengertian sumber dan fakta sejarah

Dalam penelitian sejarah , langkah pertama yang harus di lakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber berdasarkan bentuknya , sumber sejarah terbagai menjadi :

a)sumber tertulis (dokumen) meliputi: prasasti, kronik, babad, naskah, arsip, Koran.

b) sumber benda (artefak) meliputi: fosil, prasasti, candi, patung, stupa, nisan , senjata, bangunan (keratin, mesjid), peralatan hidup.

c)sumber lisan yaitu : keterangan langsung dari saksi atau pelaku sejarah.

d) sumber rekaman merupakan hasil rekaman dalam bentuk audio visual seperti : kaset , copact disk, video campactdisk.

Berdasarkan sifatnya sumber-sumber sejarah terbagi menjadi :

a) sumber primer : sumber-sumber sejarah yang asli dan berasal dari jamannya seperti prasati, kronik, piagam, bangunan (candi, keratin, masjid), nisan

b) sumber sekunder : sumbersejarah yang berasal dari sumber kepustakaan kuno (babad, naskah, karya sastra) atau berupa sumber tiruan dari benda aslinya misalnya prasasti tiruan (tinulad) , terjemahan kitab kuno .

c) sumber tersier : merupakan sumber yang berupa buku-buku sejarah yang telah disusun di mana si pengarang tidak melakukan penelitian langsung. Tetapi berdasarkan kepada hasil penelitian ahli sejarah (para sejarawan).

Sejarah tidak dapat dipisahkan dari fakta , sejarah tanpa fakta hanya akan menjadi sebuah dongeng. Fakta adalah sumber sejarah yang telah terseleksi melalui proses kritik . fakta kemudian di rekontruksi dan dijadikan dasar untuk mengisahkan sejarah. Fakta sejarah mempunyai beberapa bentuk yaitu :

a) artifact (fakta yang berupa benda konkrit ) :fosil , patung , candi dll

b) manifact (fakta yang bersifat abstrak ) : keyakinan dan kepercayaan.

c) Sosio-fact :fakta yang berdimensi social seperti jaringan interaksi antar manusia.

Fakta sejarah ada yang bersifst lunak artinya masih potensial untuk diperdebatkan , misalnya mengenai letak ibukota kerajaan sriwijaya , ibukota kerajaan trauma , kerajaan hindu di jawa barat , dll yang sampai sekarang masih banyak yang beda pendapat . sedangkan fakta sejarah yang bersifat keras adalah fakta yang telah menjuadi consensus (kesepakatan) umum, misalnya mengenai sukarno-hatta sebagai tokoh proklamator , semua berpendapat sama .

JEJAK-JEJAK MASA LAMPAU

1. peninggalan sejarah

Peninggalan sejarah merupakan wujud benda-benda peninggalan kebudayaan manusia pada masa lampau. Peninggalan sejarah tersebut diantaranya bangunan seperti : keraton, punden/berundak, candi, masjid, makam, nisan, prasasti dll.peninggalan lainnya dalam bentuk perhiasan baik yang terbuat dari batu, perak, emas, ataupun lainnya . peninggalan dalam bentuk peralatan hidup dan perhiasan , pada saat sekarang dapat kita lihat di beberapa museum.

2, monument peringatan peristiwa sejarah

Monument peringatan biasanya dalam bentuk biasanya dalam bentuk sebuah bangunan tugu, tujuanya untuk menganang suatu peristiwa sejarah yang terjadi di daerah tersebut . selain itu pembangunan monument tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan pesan dan nilai moral dari suatu peristiwa sejarah kepada generasi berikutnya contoh dari monumen antara lain monument pancasila sakti , monument nasional , monument yogja kembali.
sumber:
http://sejarahundonesiamerdeka.blogspot.com

0 komentar

Poskan Komentar


Kamis, 16 April 2009

PENJAJAHAN JEPANG DI PATI

BERDASARKAN HASIL WAWANCARA DENGAN MBAH PARTO WAGIMAN

Pada tahun 1942, Mbah Parto Wagiman berusia 16 tahun. Sebelum datang penjajah Jepang, Nusantara (Indonesia) dijajah oleh penjajah Belanda. Pada jaman dulu Mbah Parto belum dapat mengenyam pendidikan. Karena pada jaman dulu yang dapat mengenyam pendidikan hanya dari kalangan orang-orang ternama. Pada tahun 1942 Pasukan Jepang mendarat di Pantai Utara, Pulau Jawa. Tujuan Jepang datang ke Indonesia adalah untuk menguasai Indonesia dan menjadi pimpinan “Asia TIMUR Raya”. Dengan tujuan tersebut penjajah Jepang akhirnya merampas seluruh kekayaan rakyat Indonesia. Setiap rakyat memanen hasil pertaniannya, misalkan padi harus disetorkan kepada Jepang di koperasi (kimaai) milik pasukan Jepang. Jika ada yang ketahuan tidak menyetorkan maka orang (petani) tersebut akan dibunuh.
Mbah Wagiman bercerita pada saat Jepang datang ke Indonesia beliau berusia 16 Tahun. Jadi beliau diwajibkan ikut menjadi anggota pasukan Jepang yang disebut dengan Syaibodang yang dilatih untuk berperang. Pada saat itu beliau sempat tidak betah, karen setiap melakukan kesalahan beliau disiksa oleh pasukan Jepang dengan cara dipukul dengan menggunakan gagang senapan. Setiap hari beliau dijatah makan hanya sekali, dan hanya makan nasi sisa para penjajah Jepang. Beliau pun tidak diberi minum sehingga beliau tidak betah dan akhirnya kabur dari tempat itu. Tetapi beliau tidak berani pulang ke rumah. Karena jika beliau pulang ke rumah maka akan diseret oleh penjajah Jepang dan dipenjara. Dengan keadaan seperti itu kemudian beliau bersembunyi di daerah hutan yang sekaran menjadi Ds. Gajahmati. Suatu malam beliau menyelinap-menyelinap hingga sampai ke rumahnya. Namun, sayang sekali sampai di rumah beliau hanya menemukan jenasah dari ibunya, dan adik wanitanya yang sedang menangisi ibunya. Kemudian beliau bertanya pada adiknya, tentang keberadaan ayah dan adik laki-lakinya. Adik wanitanya itu bercerita bahwa kakak dan ayahnya telah dibawa para pasukan Jepang. Malam itu juga beliau langsung membawa adik wanitanya itu kembali ke tempat persembunyiannya di hutan itu. Setiap hari beliau makan iles-iles yaitu lompong yang diiris-iris.
Pakaian yang dikenakan pada jaman dahulu adalah pakaian yang terbuat dari kadut yaitu kain kadut dan kain ondol yang terbuat dari kapas yang dilinting-linting, karena di hutan banyak hewan buas. Beliau bersama adiknya kembali ke rumahnya. Dan beliau pun menjadi romusa. Sedangkan adiknya bersekolah. Selama menjadi Romusha nasibnya tak karuan. Beliau bersyukur sampai sekarang masih diberi umur panjang.


Nama : Feni Astuti
No : 14
Kelas : XI IPS 3

Tugas siswa XI IPS-1

Jepang tiba di Indonesia pada 11 januari 1942 di Tarakan, Kalimantan Timur. Gerakan pasukan Jepang ini diikuti dengan upaya propaganda 3 A, yang akhirnya membuat Belanda menyerah pada tanggal 7 Maret 1942. Dari sinilah Jepang mulai menjajak sekaligus menjajah Indonesia. Masih dapat kami temui beberapa saksi betapa kerasnya Jepang pada masa penjajahannya. Kami menemui 4 saksi yang hidup pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kami cukup tertarik dengan cerita-cerita yang disuguhkan pada zaman pendudukan Jepang, mulai dari sudut pandang rakyat biasa, anak sekolah dasar, juru bahasa Jepang dampai anggota Seinendan.


Nara sumber kami yang pertama Bp. Soebadri yang beralamtkan di Bendan, Pati Kidul. Sekarang beliau berumut 84 tahun. Pada masa Jepang pendudukan Bp. Soebadri adalah seorang anggota Seinendan. Beliau berkisah bahwa dulu sebelum menjadi angota Seinendan, Bp. Soebadri bersekolah di kecamata lama yang sekarang ada di sekitar daerah SD Pati Wetan. Para pemuda kemudian dijadikan anggota Seinendan sedangkan para orang tua dijadikan romusha untuk melakukan proyek Jepang. Orang-orang tua ini tidak tidak digaji bahkan ada yang sampai dibunuh. Sedangkan para pemuda yang sedang dijadikan anggota Seinendan diajari huruf Jepang yaitu Hiragana, Katagana, dan Kanji yang menulisnya dari atas ke bawah.


Selain membentuk Seinendan, Jepang juga membentuk keibondan, Heiho, dan PETA. PETA merupana inisiatif dari Bung Karno dan Bung Hatta yang kemudian diusulkan kepada Jepang. Jepang membagi wilayah atas Syu yang bearti Karesidenan, Syi adalaj Kota, Ken Yaitu Kabupaten, Gun yang merupakan Kawedenan, Son adalah Kecamatan dan Ku yaitu Kelurahan.


Untuk kemiliteran Jepang sendiri di Pati, terdapat lapangan Halikopter yang berpusat di Regaloh, Kecamatan Tlogowungu. Di tempat tersebut terdapat juga asrama PETA.


Bp. Soebadri sendiri juga menegaskan bahwa hidup di zaman Jepang lebih sulit daripada di zaman penjajahan Belanda. Sangat sulit sekali untuk mendapatkan bahan makanan sehingga banyak penduduka yang kurang gizi. Tak jarang anak-anak sekolah juga disuruh mencari kepiting sawah/yuyu, talas dan jagung untuk dimasak. Banyak penduduk pribumi yang tidak makmur, kecuali yang menjadi pegawai-pegawai Jepang.


Jepang juga berbuat licik dengan merampas hasil panen penduduk serta mencurinya di saat penduduk sedang bersembunyi di belumbang karena takut ada bahaya.


Bp. Soebadri setelah menjadi Seinendan sempat juga ditawari untuk menjadi mandor petani yang saat itu diawasi secara ketat oleh kepala pertanian Jepang.


Ini membuktikan betapa kuatnya dominasi Jepang dalam mengatur segala aktivitas pendidikan Indonesia. Tetapi Bp. Soebadri menerangkan bahwa dengan sifat Jepang yang seperti itu penduduk Indonesia menjadi berani untuk melawan penjajahan. Lagipula Jepang tidak secara ketat membatasi rakyat untuk mengeyam pendidikan.


Kita juga harus berterima kasih kepada Jepang karena Jepang melatih rakyat Indonesia untuk bertempur. Karena hal tersebut mental rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan muncul dan berani melawan para penjajah yang datang ke Indonesia.


Narasumber kami yang kedua yaitu Ibu Karsih juga membeberkan mengenai hidup beliau pada zaman kependudukan Jepang. Secara umum hidup dijaman penjajahan Jepang lebih menderita daripada penjajahan Belanda. Untuk makan saja pada waktu itu makanan pokoknya taitu jagung, harus bersembunyi di “blumbang” yaitu semacam lorong yang dibuat didalam tanah. Apabila ketongongan dibunyikan sebagai pertanda ada bahaya, maka para penduduk akan bersembunyi, malahan kesempatan ini dimanfaatkan Jepang untuk mengambail beras dari penduduk.


Ibu Karsih juga bercerita bahwa penduduk disuruh untuk mengigit karet agar tidak kaget apabila bom dijatuhkan. Beliau yang saat itu hanya mengeyam pendidikan sampai kelas 2 SD/SR mengatakan bahwa beliau saat disekolah tidak diajari pelajaran tetapi Ibu Karsih dan teman-temannya disuruh mencari kepiring sawah/ yuyu untuk lauk. Sedangkan penduduk juga banyak yang disuruh bekerja untuk Jepang disebut juga romusha.


Kemudian naradumber kami yang ketiga yaitu Ibu Nasri berumur 76 tahun juga bersaksi betapa kerasnya Jepang pada mas itu. Beliau yang memiliki nama kecil Sukarsi ini bercerita tentang bahwa setiap ada sirene ataupun ada pesawat terbang yang lewat, beliau yang waktu itu masih duduk disekolah dasar disuruh untuk tiarap dan menggigit karet dan baru boleh melakukan aktivitas seperti biasa setelah sirene berbunyi lagi. Beliau yang pada masa Jepang tinggal di Bogorejo, Jepon, Kabupaten Blora ini juga mengaku bahwa pada masa pendudukan Jepang beras diserahkan kepada Jepang saat panen sehingga penduduk harus menyembunyikan berasnya apabila inggin makan nasi. Jepang juga memberikan jatah gula kepada penduduk yaitu setengah kilogram untuk setiap orang sehingga setiap orang hanya makan gula untuk bertahan hidup. Padahal seperti yang kita ketahui gula tidak baik untuk kesehatan apabila dikonsumsi secara berlebihan, sehingga pada waktu itu banyak penduduk yang tidak sehat dan banyak yang meninggal. Saking akehe penduduk yang meninggal jasad penduduk banyak yang tidak terurus karena tidak sempat dikubur.


Ibu Nasri yang pada waktu itu berprofesi sebagai pelajara sekolah dasar berkisah saat disekolah beliau tidak diajar pelajaran, tetapi hanya diajarkan olahraga dan mencari iles-iles atau tales, dan tanaman-tanaman jarak. Anak-anak sekolah waktu itu juga disuruh menghormati bendara Jepang kimigayo saat upacara dan diwajibkan menghadap ke timur.


Sedangkan narasumber ke-4 bapak M. Salekan yang berumur pada waktu Jepang 19 tahun dan umur sekarang 85 tahun. Pada waktu Jepang beliau bekerja sebagai juru bahasa Jepang, dan pekerjaan pensiunan yang berlamatkan di ds. Bendan.


Bp. M. Salekan merupakan juru bahasa Jepang PETA, beliau menerjemahkan behasa Jepang ke Indonesia ataupun sebaliknyan. Di ketentaraan PETA dibentuk pemuda Seinendan khusus mengenai kepemudaan. Juru bahasa biasanya disebut Chuyaku. Dulu didepan hotel Pati souete merupakan balai pertemuan untuk resting. Beliau membantu Jepang bersama angkatan kedua dan dikirim ke pangkalan udara bersama opsir-opsir dariu Bogor.


Dulu saat diasrama Jepang khususnya ketentaraan dibagi menjadi bebarapa Chudan, seperti pimpinan dari jawa yang biasa disebut Sudancuk, dan dari tiap-tiap pimpinan ada juru bahasanya. Dikententaraan Jepang dibagi terdiri atas pimpinan bagian administrasi, daidanchuk, dan markas Jepang (Homebhu). Tugas daidanchuk adalah untuk mempersiapkan tentara di tiap-tiap kabupaten. Beliau pernah bekerja dilapangan kapal terbang di Tlogowungu sebagai juru bahasa selama 1 tahun. Kemdian di rembang yaitu membuat terowongan oleh Kaigun (tentara pelaut). Selanjutnya markas dipindah ke Cepu guna untuk membuat kabupaten Blora. Saat di Jakarta beliau ditugaskan ke bagian asrama tentara. Ini merupkan strategi Jepang dalam memindah-mindah juru bahasa, supaya juru bahasa tidak mengetahui strategi Jepang yang asli. Beliau juga sempat menjadi juru bahasa di istana wapres selama 5 bulan.


Bp. Salehan selama hidupnya memang bekerja untuk Jepang tapi tidak begitu setia. Jadi beliau kurang tahu mengenai hal-hal diluar sana seperti rakyat biasa. Beliau hanya sempat mendengar saat ada sirene, Jepang mengambil beras-beras penduduk. Sedangkan masyarakat menyimpan berasnya di bumbung (pring). Untuk tentara jelas hidupnya berbeda dengan rakyat pribumi. Mereka tetap makan nasi hanya saja lauknya berbeda dengan petinggi Jepang dan sekaligus mendapat gaji sebesar 20 yen. Serta dapat keu mocchi (kue khas Jepang).


Maka dari itu kita tahu orang-orang yang masih makmur sampai sekarang kebanyakan dulunya merupakan tentara Jepang ataupun yang bekerja untuk Jepang, karena jelas hidupnya terjamin.


Narasumber yang terakhir adalah Bp. Soejoko, umur beliau sekarang adalah 72 tahun. Beliau pada waktu pendudukan Jepang berada di kelas 1 SR/SD. Alamat beliau sekarang di ds. Juanalan, Pati Kidul. Pada waktu penjajahan Jepang beliau beralamatkan di Madiun, Jawa Timur.


Bp. Joko mengkisahkan pada waktu pendudukan Jepang bahwa penjajahan Jepang lebih kejam dan lebih parah dibanding penjajahan Belanda. Hal ini disebabkan karena para tentara Jepang akan melakukan kekerasan lewat pukulan kalau ada salah seorang rakyat Indonesia yang melakukan kesalahan. Sedangkan para tentara Belanda akan main kata-kata kotor bila ada rakyat Indonesia yang melakukan kesalahan. Salah satu buktinya adalah dulu pada waktu penjajahan Jepang, ada salah seorang teman kakaknya Pak Joko yang disiksa sampai diinjak-injak tubuhnya. Seketika kakak Pak Joko langsung memukul tentara Jepang yang melakukan tindakan tersebut. Kemudian kaka Pak Joko langsung dibalas pukulan dengan gagang pistol laras panjang. Tapi tidak dibunuh


Pada waktu di kelas 1 SR beliau diajar dengan berbagai macam pelajarang. Seperti, bahasa Jepang, bahasa Indonesia, aljabar, tetapi pelajaran agama tidak ada, dan diganti menjadi pelajaran budi pekerti. Selain belajar Pak Joko dan teman-temannya disuruh oleh tentara Jepang untuk menanam tanaman jarak. Tidak hanya Pak Joko dan teman-temannya, keluarga merekapun disuruh bekerja rodi (romusha). Tapi ada juga beberapa orang yang tidak bekerja rodi, tapi dijadikan tetara oleh pemerintah Jepang. Mereka adalah para pemuda.


Para romusha yang dipaksa bekerja tidak ada yang memberontak. Karena pada awal Jepang masuk ke Indonesia, mereka disambut gembira oleh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia menganggap Jepang saudara tua Indonesia. Selain itu rakyat Indonesia tidak berdaya oleh kekuatan tentara Jepang. Para romusha disuruh bekerja untuk membuat sarana dan prasarana di Indonesia. Contohnya adalah pembuatan jalan, jembatan, gedung pertahanan, bahkan disuruh membuat benteng. Setelah sarana dan prasarana itu sudah selesai maka para pekerjanya akan dibunuh, supaya tidak ada yang memberitahu tempat-tempat tersebut. Karena tempat-tempat tersebut akan menjadi tempat perlindungan tetara Jepang.


Para pemuda Indonesia yang dikumpulkan akan dilatih oleh tentara Jepang untuk menjadi prajurit yang bagus dan setia. Mereka dilatih tentang kemiliteran, apabila ada musuh yang datang menyerang maka mereka akan siap untuk bertempur. Kalau mereka tertangkap oleh musuh, mereka akan melakukan Harakiri (bunuh diri) agar mereka tidak membocorkan rahasia lawan. Tidak hanya itu para tentara Jepang mendapat upah dan mereka boleh dipertemukan dengan keluarganya. Seperti yang dialami oleh kakak Pak Joko yang menjadi anggota PETA. Beliau boleh bertemu dengan keluarga asal tidak membocorkan hal-hal rahasia kepada keluarga. Kalau tidakan itu dilakukan dan tertangkap oleh pemerintah Jepang, maka Jepang tidak akan tanggung-tanggung untuk membunuh dia dan keuarganya. Betapa kejamnya Jepang.

Nara Sumber

NAMA : WIRYO SUPAR

UMUR SEKARANG : 81 TH / 18 JANUARI 1928

UMUR JAMAN JEPANG : 14 TH

ALAMAT : Ds. Guwo Kec. Tlogowungu Rt.02/Rw.IV

PEKERJAAN JAMAN JEPANG : PELAJAR SR



Pada jaman Jepang sangat memprihatinkan, semua beras harus diserahkan kepada Jepang. Sehingga hanya bisa makan ketela yang diparut, “sego brabuk” ( nasi jagung ). Kadang juga bisa makan nasi tetapi sembunyi-sembunyi, beras disembunyikan di dalam tanah atau dikubur. Setiap saat tentara Jepang akan memeriksa rumah, jika di entong masih tersisa bekas nasi ( upo ) maka tentara Jepang akan mencari beras tersebut dan jika ketemu akan dibawa semuanya serta disiksa. Pakainnya hanya dari “ ondol-ondol” terbuat dari kapas dan biasanya ada karung goni bagi yang mampu membeli.






Selasa, 14 April 2009

Revolusi Rusia


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Untuk penggunaan revolusi yang lain, silakan lihat revolusi (disambiguasi).

Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.

Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.

Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Misalnya Revolusi Industri yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Dalam definisi yang lebih sempit, revolusi umumnya dipahami sebagai perubahan politik.

Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi sosial dan revolusi nasional.

Pada abad 20, terjadi sebuah perubahan bersifat revolusi sosial yang kemudian dikenal dengan Revolusi Rusia. Banyak pihak yang membedakan karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi Perancis, karena karakter kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai revolusi borjuis, sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi Bolshevik, Proletar, atau Komunis. Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang Saudara Tiongkok pada 1949

Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.

[sunting] Pemimpin

Revolusi umumnya mensyaratkan hadirnya seorang pemimpin kharismatik, berperannya sebuah partai pelopor (avant garde), adanya sebuah elemen ideologi.

Dalam Revolusi Rusia, misalnya, Lenin dan tokoh puncak Partai Komunis mampu menjadi pemimpin yang kharismatik. Revolusi lain yang mengedepankan seorang tokoh, misalnya Fidel Castro di Kuba, Che Guevara di Amerika Selatan, Mao Tse-Tung di Republik Rakyat Cina, Ho Chi Minh di Vietnam, Ayatullah Khomeini di Iran, Cory Aquino di Filipina ketika Revolusi Edsa, dll.

[sunting] Pranala luar


sengketa inrnasional


Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Diplomatik

I. Pendahuluan

Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.

Seiring dengan perkembangan yang terjadi, muncul kemudian beberapa perjanjian internasional, baik secara khusus mengatur maupun memuat beberapa tentang penyelesaian sengketa. Perjanjian-perjanjian tersebut dibuat oleh negara-negara, baik secara multilateral ataupun melalui lembaga intergovernmental, diantaranya :

1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919

2. The Statute of the Permanent Court of International Justice 1921

3. The General Treaty for the Renunciation of War 1928

4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928

5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945

6. Deklarasi Bandung 1955

7. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States 1982.

Kelahiran League of Nations (LBB) yang menjadi lembaga intergovernmental pasca terjadinya Perang Dunia I (PD I), tidak mampu mencegah terjadinya penyelesaian sengketa dengan kekerasan antar negara. Karena LBB terbukti tidak dapat melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya Perang Dunia II (PD II). Dari kondisi seperti itulah, negara-negara yang terlibat dalam PD II kemudian membentuk United Nations (PBB) sebagai pengganti dari LBB. Kelahiran PBB diharapkan dapat mencegah terjadinya hal serupa PD I dan II.

Dalam praktek hubungan antar negara pada saat ini, PBB telah menjadi organisasi intergovernmental yang besar. Dengan keanggotaan sebanyak itu, UN Charter (Piagam) telah dijadikan sebagai rujukan utama oleh banyak negara untuk menyelesaikan sengketa dengan damai. Pencantuman penyelesaian sengketa secara damai di dalam Piagam, memang mutlak diperlukan. Selain karena PBB bertujuan untuk menjaga kedamaian dan keamanan internasional, negara-negara anggota PBB membutuhkan panduan dalam melaksanakan tujuan PBB tersebut.

II. Penyelesaian Sengketa dalam Piagam PBB

Tujuan dibentuknya PBB, yaitu menjaga kedamaian dan keamanan internasional tercantum di dalam pasal 1 Piagam, yang berbunyi :

“To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace”

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :

a. Negosiasi;

b. Enquiry atau penyelidikan;

c. Mediasi;

d. Konsiliasi

e. Arbitrase

f. Judicial Settlement atau Pengadilan;

g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.

Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.

Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

III. Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik

Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.

a) Negosiasi

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.

Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :

(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka

(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya

(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.

(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak

b) Enquiry atau Penyelidikan

J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.

c) Mediasi

Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.

Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.

Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

d) Konsiliasi

Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.

e) Good Offices atau Jasa-jasa Baik

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.

Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

IV. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum

Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.

a) Arbitrase

Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.

b) Pengadilan Internasional

Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan lainnya.

Kehadiran pengadilan internasional sesungguhnya telah dikenal sejak eksisnya Liga Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Namun seiring dengan bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB.

Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa. s