Selasa, 26 Mei 2009

Kuli Kontrak

Mendengar kata kuli kontrak, ingatan kita mela­yang jauh akan wajah suram ratusan bahkan puluhan ribu ­orang Indonesia yang dipekerjakan penjajah Belanda di perkebunan besar Sumatera dan sebagian lagi di Suriname, Amerika Tengah, yang juga menjadi daerah jaja­han Belanda.
Nasib mereka memang amat mengenaskan. Pekerjaan berat harus dilakoni sepanjang hari. Sementara upah yang diterima jauh dari cukup. Mereka tidak memiliki surat jaminan kerja apalagi jaminan keselamatan. Kisah tragis mereka terungkap setelah seorang opsir Belanda menulis buku Max Havelaar yang membeber kisah pedih kuli kontrak di Pulau Jawa. Lapar, kurang makan dan asupan gizi.
Ceritera kuli kontrak kembali mencuat di abad 21 ketika terjadi kasus PHK 12 tenaga sekuriti (saptam) salah satu cabang BCA. Mereka mengadu ke Sekretariat DPP Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) di Jakarta. Semula lamaran mereka dituju kepada BCA tetapi mereka dire­krut oleh perusahaan brooker CV Multi Jaya Lestari (MJL). Mereka bukan karyawan BCA dan tanpa sepengetahuan mereka, selama bekerja di BCA gaji mereka dipotong 20% oleh MJL. Itulah nasib kuli kontrak, dipecat tanpa pesangon dan tiada penghargaan sedikitpun atas karya dan prestasi mereka.
Rasanya teramat kasar menyanding kata kuli kontrak dan kuli karir. Lebih enak kedengaran ala eufemisme disebut pekerja kontrak dan pekerja karir. Keduanya sama-sama pekerja di sebuah perusahaan, lembaga atau orga­nisasi tertentu. Namun status kerjanya berbeda. Pekerja kontrak bekerja berdasarkan kesepakatan kontrak soal gaji dan masa bekerja. Jika salah satu klausul dilanggar, maka ada pihak yang dituding menyalahi kesepakatan kontrak. Perjanjian kontrak pun berakhir atau direvisi ulang. Sementara, pekerja karir merujuk pada karyawan atau pegawai yang bekerja di sebuah perusahaan/lembaga/korporasi secara permanen. Mereka bisa saja awalnya cleaning servis lalu naik karirnya menjadi satpam. Berkat pelatihan dan proses belajar, karirnya merangkak naik jadi tenaga administrasi. Bila menunjukan prestasi, dedikasi dan kreatifitas, mereka dipromosikan menjadi kepala biro kepegawaian. Intinya, kuli kontrak bekerja tanpa ada kesempatan mengembangkan karir.
Dalam dunia kerja perusahaan/swasta ada pembagian bertahap dalam proses perekrutan karyawan atau pekerja. Setelah tahapan tes penerimaan lewat wawancara dan ujian tertulis atau lisan, seorang karyawan mendapat status pekerja sementara (masa uji-coba/training) bisa selama 3 bulan, 6 bulan atau 9 bulan. Jarang ada perusahaan yang memperlakukan masa training selama setahun. Saat trai­ning adalah moment untuk mengenal dunia kerja, ada kesigapan dan pengorban waktu untuk belajar lebih keras bidang kerja yang digeluti. Sebab, ada hal-hal teknis yang tidak didapat di bangku kuliah. Bila lulus training, karyawan bersangkutan menandatangani konrak kerja, bisa selama 6 bulan atau setahun. Bila bakat dan kemampuannya terus berkembang serta dinilai manajemen bisa memperkuat kinerja perusahaan, biasanya pekerja bersangkutan diangkat menjadi karyawan tetap.
Bekerja di sektor swasta penuh dengan resiko ketidakpastian. Itulah sebabnya, banyak orang tua ‘memaksa’ dan berharap anak mereka lulus tes CPNS. Karena berprestasi atau tidak pasti ada jaminan hari tua. Namun maju mundurnya suatu negara sangat tergantung kepada kinerja dan pengembangan sektor swasta. Moment peringatan HUT Kemerdeaan RI ke-61 adalah saat yang tepat bagi para pe­ngusaha dan pekerja swasta untuk memantapkan jati diri sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi negara.
Meski saat ini, para pekerja di berbagai sektor lagi ketar-ketir akibat iklim ekonomi yang lesu. Bencana alam terus terjadi ‘secara sistematis’ dari Sabang menuju bumi Pa­pua, Merauke. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar. Sebagian perusahaan dengan pertimbangan efisiensi biaya operasional merumahkan separuh karyawannya. Di Indonesia, lantunan lagu PHK (pemutusan hubungan kerja) terus membahana di televisi maupun media cetak. Terakhir, pekerja sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terkesan ‘adem ayam’ tidak luput dari berita buruk PHK.
Rasanya pedih untuk kembali mencari pekerjaan baru. Apalagi bila termakan usia. Ada trend banyak perusahaan lebih merekrut karyawan muda dan baru yang lebih ener­gik dan potensial. Namun setidaknya, ancaman PHK secara internal-personal bisa diminimalisir. Pertama, perusahaan dalam proses PHK pasti akan menyeleksi mana karyawan bermental kuli dan mana yang bermental karir. Ada pergeseran makna antara kuli kontrak dan kuli karir. Dalam perspek­tif prestasi, kuli kontrak adalah karyawan yang bekerja sekedar untuk mencari makan, mengisi waktu ketimbang disebut penganggur dan tidak memiliki inisiatif untuk membesarkan perusahaan. Karyawan kuli adalah virus bagi kemajuan perusahaan dan harus segera dipangkas agar tidak merusak kinerja salah satu sektor swasta. Kedua, bekerjalah dengan mental kuli karir yaitu tipe pekerja yang bekerja untuk pengembangan diri. Mereka menyadari bahwa dunia yang luas ini terdiri dari ribuan kom­penen keterkaitan terselubung yang saling mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Pekerjaan kecil yang dilakukan dengan serius memang tidak bisa dihargai sebatas dengan uang. Namun, ada sebuah visi dan nilai plus bahwa sebentuk pengabdian akan berdampak bagi kesejahteraan orang lain. Contoh, tukang sapu taman yang be­kerja rajin dan tekun meski gajinya kecil. Namun kinerja­nya berpengaruh ‘dalam skala kecil’ yaitu kebersihan dan keindahan. Ada juga dampak pada skala besar. Program kebersihan yang digagas walikota dengan susah payah akhirnya terwujud, dan seterusnya. Sebuah contoh kecil yang mau menegaskan bahwa pekerjaan apapun adalah sebuah investasi masa depan. Sebab, sekarang banyak generasi muda yang sudah diserap dalam bursa kerja atau bekerja di sebuah perusahaan namun menjadi penganggur selubung. Ingat, ukuran prestasi di sektor swasta bukan pada selembar ijasah sarjana tetapi pada torehan prestasi yang diraih. Bila anak bangsa terus bekerja de­ngan mental kuli kontrak maka ia menempatkan diri di barisan terdepan generasi muda kuyu, layu, kehilangan orientasi hidup, sakit-sakitan, ngutang melulu, miskin dan menyu­sahkan banyak orang. Pada saat kita lahir, dunia bergembira. Kini saatnya kita membuat dunia tersenyum dengan kehadiran kita. Dirgahayu Republik Indonesia. Majulah bangsaku, bangkitlah saudaraku mari kita bersatu hati membangun desa, membangun bangsa!!! (Beny Uleander/KPO Edisi 111/16-31 AGUSTUS 2006)

http://www.benyuleander.co.cc/2007/12/kuli-kontrak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar