Minggu, 21 Juni 2009

Konsep-konsep dalam sejarah

Tradisi Sejarah dalam Masyarakat Indonesia
Sejarah, dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk raja-raja yang memerintah). Kata Sejarah berasal dari kata Syajaratun atau Syajarah dalam bahasa Arab yang artinya pohon atau silsilah. Umumnya sejarah atau ilmu sejarah diartikan sebagai informasi mengenai kejadian yang sudah lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah berarti mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh orang perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi: pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis. Ilmu sejarah mempelajari berbagai kejadian yang berhubungan dengan kemanusiaan di masa lalu. Sejarah dibagi ke dalam beberapa sub dan bagian khusus lainnya seperti kronologi, historiografi, genealogi, paleografi, dan kliometrik. Orang yang mengkhususkan diri mempelajari sejarah disebut sejarawan.
- Historiografi :
Historiografi adalah adalah ilmu yang meneliti dan mengurai informasi sejarah berdasarkan sistem kepercayaan dan filsafat. Walau tentunya terdapat beberapa bias (pendapat subjektif) yang hakiki dalam semua penelitian yang bersifat historis (salah satu yang paling besar di antaranya adalah subjektivitas nasional), sejarah dapat dipelajari dari sudut pandang ideologis, misalnya: historiografi Marxisme. Ada pula satu bentuk pengandaian sejarah (spekulasi mengenai sejarah) yang dikenal dengan sebutan “sejarah virtual” atau “sejarah kontra-faktual” (yaitu: cerita sejarah yang berlawanan — atau kontra — dengan fakta yang ada). Ada beberapa ahli sejarah yang menggunakan cara ini untuk mempelajari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada apabila suatu kejadian tidak berlangsung atau malah sebaliknya berlangsung. Hal ini mirip dengan jenis cerita fiksi sejarah alternatif.
- Kronologi :
Kronologi adalah istilah yang artinya diambil dari kata krono/chrono yang artinya waktu dan -logi yang artinya ilmu maka disimpulkan kronologi adalah ilmu yang mempelajari waktu atau sebuah kejadian pada waktu tertentu.Adapun kronologi digunakan dan bermanfaat pada sebuah kejadian baik kriminal maupun nonkriminal. Kronologi sering diajarkan pada badan badan hukum untuk mengetahui kapan dan persisnya suatu kejadian atau tindak pidana terjadi.
EJARAH
* Mengikut pandangan “Bapak Sejarah” Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban.
* Sejarah dalam arti kata lain digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih bagi membolehkan manusia memperkayakan pengetahuan supaya waktu sekarang dan akan datang menjadi lebih cerah.
* Karakteristik ilmu Sejarah :
Unik, artinya peristiwa sejarah hanya terjadi sekali, dan tidak mungkin terulang peristiwa yang sama untuk kedua kalinya.
Penting, artinya peristiwa sejarah yang ditulis adalah peristiwa-peristiwa yang dianggap penting yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan manusia
Abadi, artinya peristiwa sejarah tidak berubah-ubah dan akan selalu dikenang sepanjang masa.
* 1.PERIODISASI
Periodisasi adalah pembabakan waktu yang digunakan untuk berbagai peristiwa. Periodisasi yang dibuat para ahli tentang suatu peristiwa yang sama dapat berbeda-beda bentuknya dikarenakan alasan pribadi atau subyektif.
2.KRONOLOGI
Kronologi adalah penentuan urutan waktu terjadinya suatu peristiwa sejarah. Kronologi berdasarkan hari kejadian atau tahun terjadinya peristiwa sejarah.
Manfaat kronologi adalah:
-dapat membantu menghindarkan terjadinya kerancuan dalam pembabakan waktu sejarah.
-dapat merekonstruksi peristiwa sejarah dimasa lalu berdasarkan urutan waktu dengan tepat.
-dapat menghubungkan dan membandingkan kejadian sejarah di tempat lain dalam waktu yang sama.
3.KRONIK
Kronik adalah catatan tentang waktu terjadinya suatu peristiwa sejarah.
4.HISTORIOGRAFY (Penulisan Sejarah)
Historiogray adalah oses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibavca orang lain. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisan nya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan.

Definisi Sejarah

Mengikut pandangan “Bapak Sejarah” Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban.

Sejarah dalam erti kata lain digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih bagi membolehkan manusia memperkayakan pengetahuan supaya waktu sekarang dan akan datang menjadi lebih cerah.

Macam-macam Sejarah :

=Periodisasi : jangka waktu yang lama

=Kronologi : jangka waktu yang pendek

=Kronik : Kumpulan cerita

=HIstoriography : proses penulisan sejarah

http://isrona.wordpress.com/2008/09/10/konsep-konsep-dalam-sejarah/

Tradisi Sejarah dalam Masyarakat Indonesia

oleh


I. Tradisi Sejarah Pada Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan

Cara Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan Mewariskan Masa Lalunya.
Kemampuan manusia dalam berbicara menggunakian bahasa lisan dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, bukan berarti mereka tidak punya kemampuan untuk merekam dan mewariskan pengalaman masalalunya. Dengan potensi adalah tradisi lisanlah mereka merekam dan mewariskan masa lalunya.

Tradisi lisan dapat di artikan sebagai kebiasaan atau adat berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Dalam tradisi lisan terkandung kejadian – kejadian sejarah, adat istiadat, cerita, dongeng, pribahasa, lagu, mantra, nilai moral, dan nilai keagamaan.

Dalam tradisi lisan, peranan orang yang dituakan seperti kepala suku atau ketua adat sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan mempunyai jejak – jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian dari sebuah folklore.

Cara Masyarakat yang Belum Mengenal Tulisan Mengembangkan Tradisi Sejarah
Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan yang dimaksud dengan tradisi sejarah adalah dalam bentuk mempertahankan adapt istiadat, petuah leluhur dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Cara mereka mengembangkan tradisi sejarah adalah dengan mewariskannya secara lisan melelui ingatan kolektif anggota masyarakatnya.
Cara lain adalah dalam bentuk dibuatnya sebuah karya seperti lukisan, monumen, tugu,dan peralatan hidup. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pengembangan tradisi sejarah untuk diwariskan kepada generasi berikutnya yang melihat karya itu. contohnya dalam bentuk lukisan di dinding gua, tugu, dan monumen yang berhubungan dengan kepercayaan animisme, perkakas yang terbuat dari batu maupun logam dan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang.

Jejak Sejarah Dalam Foklore (Mitos, Legenda, Dongeng, Lagu Rakyat dan Upacara Adat).
Folklore diartikan sebagai sekelompok orang (komunitas) yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik (bahasa, rambut, warna kulit), sosial dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok masyarakat lainnya. Ciri-ciri folklore adalah sebagai berikut: penyebaran dan pewarisannya lebih banyak secara lisan, bersifat tradisional, bersifat anonym (pembuatannya tidak diketahui), kolektif (menjadi milik bersama dari sebuah kelompok masyarakat ), mempunyai pesan moral bagi generasi berikutnya.
Menurut Harold Brunvan (USA), folklore terbagi kedalam tiga tipe yang meliputi :

1. folklore lisan merupakan fata mental (mentifact) diantaranya : logat bahyasa (dialek)
dan bahasa tabu, ungkapan tradisional dalam bentuk pribahasa dan sindiran, puisi
rakyat yang meliputi mitos legenda, dongeng .

2. folklore sebagai lisan merupakan fakta social (sosiofact) diantaranya dalam bentuk
kepercayaan dan takhayul, permainan rakyat, tarian rakyat, teater rakyat, dan upacara
tradisional.

3. folklore bukan lisan merupakan artefak (artifact), diantaranya dalam bentuk : arsitektur
bangunan rumah adat (tradisional), seni kerajinan tradisional, pakaian tradisional,
obat-obatan tradisional, alat musik tradisional, senjata tradisional, makanan
tradisional.

Mitos
Dalam prosa rakyat dikenal dengan yang namanya mitos, legenda dan dongeng . mitos adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh masyarakatnya. Mitos pada umumnya mengisahkan tentang dewa, penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan awal. Beberapa contoh mitos adalah : Leak di Bali, Rorokidul di Jawa, Dewi Sri (dewi padi), dll.

Legenda
Legenda biasanya diartikan cerita rakyat yang berisi tentang terbentuknya (terjadinya ) suatu wilayah. Menurut Halrod Brunvand ada 4 macam :

1. legenda keagamaan berisi tentang cerita orang-orang yang dianggap suci atau saleh
dengan tambahan segala macam keajaiban, kesaktian dan benda-benda keramat,
contoh : Wali Sanga, Sunan Kali Jaga, Syekh Siti Jenar, dll.
2. legenda alam gaib adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan dan
takhayul yang berhubungan dengan keghaiban. Biasanya menceritakan tentang
hantu, genderewo, sundel bolong atau mahluk jadi-jadian. Contohnya cerita Si Manis
Jembatan Ancol (Betawi), Kisah Harimau menjelma Raja Siliwangi (Sunda), kisah
orang Bunian (Sumatera), kuntilanak, dll.
3. legenda lokal adalah cerita tentang asal mula terjadinya (terbentuknya) nama suatu
tempat , danau, gunung,bangunan dll. Contohnya : cerita terbentuknya Danau Toba
(Sumut) , kisah Sangkuriang (Sunda), Roro Jongrang (Jateng), terbentuknya gunung
Batok dan nama Tengger (Jawa),dll.
4. legenda perseorangan adalah cerita rakyat tentang tokoh-tokoh yang dianggap dan
diyakini oleh suatu masyarakat pernah ada. Pada umumnya mengisahkan tentang
kepahlawanan, kesaktian atau kisah cinta dari tokoh tersebut. Contohnya : kisah Si
Pitung, Nyai Dasima (Betawi), Sabai Nan Aluih, Si Pahit Lidah (Sumbar), cerita Panji
Warok Suro Menggolo (Jatim), Joko Tingkir, Roro Mendut (Jateng), Lutung Kasarung,
Mundinglaya di Kusuma (Jabar), Jayaprana dan Layon Sari (Bali).

Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang bersifat khayal, sama sekali tidak pernah terjadi dan hanya bersifat hiburan tetapi di dalamnya mengandung pesan moral, petuah dan sindiran. Dongeng dapat digolongkan ke dalam bentuk dongeng binatang, dongeng manusia dan dongeng jenaka.

Pada umumnya dongeng binatang disebut Fabel, di Jawa dan Bali dinamakan Tantri . di Indonesia tokoh binatang yang paling terkenal adalah kancil yang digambarkan sebagai binatang yang cerdik dan banyak akal. Selain itu adalah tokoh kera, kura-kura, buaya, harimau, keong, kerbau, anjing, kucing, tikus, dll.

Dongeng manusia biasanya menceritakan tokoh manusia dengan segala macam kisah suka dukanya. Di beberapa daerah dongeng manusia kadang-kadang bertema sama yang membedakan hanya nama dan lokasinya saja. Dongeng dengan tema seorang pemuda mencuri pakaian bidadari yang sedang mandi adalah Jaka Tarup (Jatim). Pasir Kujang (Jabar), Raja Pala (Bali). Dongeng tentang penderitaan anak gadis karena ulah saudara dan ibu tirinya adalah bawang merah bawang putih (Betawi).

Dongeng jenaka adalah dongeng yang tokohnya bersifat bodoh, lugu, pander, jenaka tapi banyak akalnya. Tokoh dongeng jenaka adalah : Si Kabayan (Sunda), Lebai Malang, Pak Belalang (Melayu).

Nyanyian (Lagu) Rakyat
Nyanyian rakyat (folksong) adalah bentuk puisi yang dinyanyikan sehingga kata syair dan lagu nada merupakan satu kesatuan. Menurut materinya lagu rakyat di bedakan atas lagu anak, lagu umum, lagu religius. Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi : lagu mengiringi tarian, lagu untuk mengiringi permainan dan lagu untuk dinyanyikan.
Lagu anak banyak pula yang digunakan untuk mengiringi tarian atau permainan, contoh : cublak-cublak suweng, cingcangkeling, pokame-ame, dll. Lagu umum ada pula yang dinyanyikan untuk mengiringi tarian atau dinyanyikan biasa seperti kicir-kicir, jail-jali (Betawi) ampar pisang (Kalimantan). Lagu religius umumnya berisi pujian terhadap tuhan , dinyanyikan pada upacara yang berhubungan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, panen, dll. Ada pula yang dipakai untuk mengiringi tarian seperti tari saman dan seudati (Aceh).

Di Jawa Tengah dan Timur salah satu bentuk nyanyian rakyat dikenal dengan nama gending seperti sinom, pucung, asmarandana, dll. Sedangkan di Jawa Barat yang seperti itu dinamakan dengan pupuh.

Adat Kebiasaan

Upacara adat biasanya didasari oleh sebuah kepercayaan, upacara yang dilakukan dimaksudkan untuk mendapatkan sebuah kebaikan atau menghindarkan diri dari malapetaka dalam kehidupan masyarakat yang melakukannya. Contohnya upacara larung samudro di pantai selatan Jawa, pesta laut di pantai utara Jawa, kasodo di Tengger (Gunung Bromo), Seketan, Grebeg (Yogyakarta dan Surakarta) panjang jimat (Cirebon).

Selain yang berhubungan dengan mitos dan legenda, banyak pula upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan mulai dari masa kehamilan, kelahiran, sunatan, perkawinan, dan Kematian.


II. Tradisi Sejarah pada Masyarakat yang Telah Mengenal Tulisan

1. Tradisi Sejarah Masyarakat di Indonesia

Pengaruh Tulisan dan Karya Lontar
Sejak masyarakat Indonesia mengenal tulisan (memasuki jaman sejarah ) sebenarnya tradisi sejarah pada masyarakat Indonesia telah terbentuk melalui berbagai prasasti yang ada. Perkembangannya kemudian diperluas dengan kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi dan perkembangan bahasa di Indonesia. Bahkan kemudian muncul golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mengubah atau menulis berbagai karya sastra. Naskah-naskah karya sastra kuno tersebut di tulis pada daun lontar sehingga lebih dikenal dengan istilah kitab lontar.

Contoh prasasti di beberapa daerah di Indonesia: prasasti kutai berbahasa sansakerta dan tulisan palawa (dari kerajaan kutai), prasasti dari kerajaan trauma yang berbahasa sansakerta dan tulisan pallawa, prasasti dari kerajaan Sriwijaya pada umumnya memakai bahasa melayu dan tulisan sansakerta, prasasti dari Mataram kuno pada umumnya ditulis dengan huruf pallawa bahasa sansakerta tetapi telah mulai ada tulisan dan bahasa Jawa kuno.

Selain tulisan dan bahasa tradisi sejarah di Indonesia dipengaruhi pula oleh perkembangan karya sastra, contohnya kitab Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari India diubah dalam bahasa jawa kuno (dari jaman mataram kuno). Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Samaradhahana karya Mpu Dharmaja, Hariwangsa, Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh (dari jaman Kediri). Kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma, Arjuna wijaya karya Mpu Tantular, Kutaramanawa karya Gajah Mada, Pararaton, Sundayana (dari jaman Majapahit).

Tradisi Sejarah dalam Lingkungan Istana
Pada umumnya tradisi sejarah di Indonesia berada dalam lingkungan keraton (istana sentries) dimana hasilnya dikenal dengansejarah tradisional (historiografi tradisional). Dalam lingkungan keraton terdapat orang yang ahli menuliskan tradisi sejarah disebut pujangga. Para pujangga menuliskan silsilah keluarga raja, kebijaksanaan raja, hukum maupun karya sastra. Untuk memperkuat tulisannya biasanya para pujangga menggunakan mitos dan legenda dalam tradisi sejarahnya, sehingga tokoh raja dalam tulisannya akan mendapatkan pulung (charisma) yang diwariskan penguasa sebelumnya
Contoh karya historiografi tradisional : Kitab Pararaton, Sundayana, Pustaka Wangsakerta, Carita Parahyangan, Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, sejarah melayu, kronik Wajo, kronik Kutai, Negarakertagama, Sutasoma, dll.

Tradisi Sejarah Lokal

Selain tradisi sejarah dalam lingkungan istana, tradisi sejarah berkembang pula beberapa daerah, wilayah (lokal) tertentu. Sejarah lokal dapat diartikan sebagai sejarah dari kelompok masyarakat yang berbeda dalam daerah dan geografis tertentu, walaupun sebenarnya sulit untuk menentukan batas-batas geografisnya. Contoh sejarah lokal adalah buku "Pemberontakan Petani Banten 1888" karangan Hartono Kartodirdjo, sejarah Jawa Barat dll.

III, Penulisan Sejarah di Indonesia
Historiografi adalah tahap akhir dari metode penelitian sejarah, yang dituliskan dalam sejarah merupakan cara untuk mengetahui dan memahami jejak masa lampau manusia. Perkembangan penulisan sejarah di Indonesia terbagi atas tiga corak yaitu : tradisional, colonial, nasional.

Ketiga historiografi tersebut tidak didasari oleh pendekatan ilmiah, tetapi hanya untuk legitimasi penguasa dan kekuasaan, bersifat politis dan berisi pembenaran terhadap identitas dan menunjukan kejayaan dari penguasa.


Historiografi Tradisional
Dalam historiografi tradisional, penulisannya tidak bertujuan untuk mengungkap fakta dan kebenaran sejarah. Historiografi tradisional didominasi oleh lingkungan keraton. Para Raja mempunyai kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Historiografi tradisional bersifat ento sentries (kedaerahan), istana sentries (lingkungan keraton) dan magis religius (dilandasi unsur magis dan kepercayaan), makanya hasil historiografi tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula dalam bentuk sastra, babad, kronik, dll.

Dalam historiografi tradisional tokoh sejarahnya sering dihubungkan dengan tokoh popular jaman dahulu bahkan dengan tokoh yang ada dalam mitos maupun legenda . hal ini di maksudkan untuk mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan, identitas dari tokoh tersebut serta untuk mendapatkan pulung (charisma) yang diwariskan dari tokoh-tokoh sebelumnya.

Contoh dalam kitab Negarakertagama , Ken Arok (Raja Singosari pertama) dianggap sebagai anak Dewa Brahma dan titisan Dewa Wisnu, dalam babad tanah jawi disebutkan bahwa raja Mataram Islam pertama merupakan keturunan dari para nabi , tokoh wayang dalam Mahabharata, Iskandar Agung dari Macedonia, raja-raja Jawa bahkan punya hubungan dengan Nyai Roro Kidul penguasa pantai selatan.

Historiografi Kolonial
Historiografi colonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa colonial dalam melanggengkan imperialismenya di Indonesia. Kepentingan itu termasuk interpretasi mereka terhadap fakta sejarah. Contohnya: berbagai perlawanan yang terjadi pada masa kolonial seperti perang Aceh, Diponogoro, Padri, dll. Dalam pandangan historiografi kolonial dianggap sebagai tindakan ekstrimis, pemberontakan yang harus ditumpas karena dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan menurut sejarah nasional dianggap sebagai pejuang dan pahlawan yang bertujuan mengusir kolonial.

Dalam historiografi kolonial yang bersifat neerlando sentries, VOC merupakan pemersatu, demikian juga dengan kemerdekaan Indonesia, yang menurut versi Belanda adalah 27 desember 1949 melalui penyerahan kedaulatan sebagai realisasi dari KMB, sedangkan bangsa Indonesia mengakui kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945.

Historiografi Nasional
Perkembangan historiografi Indonesia (nasional) pertama kali muncul justru pada saat kondisi didominasi historiografi kolonial . momentum tersebut muncul ketika pada 1913, Husein Djayadiningrat menerbitkan buku hasil desertasinya yang berjudul tinjauan kritis sejarah banten. Buku tersebut bahkan memenuhi kriteria sebagai sejarah modern (ilmiah ) karena memuat uraian dari berbagai aspek(politik, sosial, ekonomi, dan fisiologi).

Upaya perintisan historiografi nasional (penulisan sejarah nasional) muncul kembali setelah memasuki jaman kemerdekaan. Hal itu dirasa perlu karena penulisan sejarah yang ada adalah warisan kolonial yng bersifat neerlando sentries, dimana Indonesia dilihat dari sudut pandang dan kepentingan kolonial Belanda.

Sebagai Negara yang baru merdeka mutlak di perlukan sebuah historiografi nasional sebagai identitas yang akan menunjukan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Pemerintah yang baru terbentuk juga menghendaki legitimasi kekuasaan bukan hanya dari rakyat , yang lebih penting adalah pengakuan internasional terhadap keberadaan bangsa dan Negara Indonesia yng merdeka.

Seminar sejarah nasional di Yogjakarta 1957, menjadi titik tolak kebangkitan historiografi nasional. Hal yang paling penting dari seminar tersebut adalah: pencarian identitas nasional, rekonstruksi penulisan sejarah nasional dari kolonial sentries menjadi Indonesia sentries sehingga sejarah nasional dapat menjadi alat pemersatu bangsa.

Sumber tulisan:

http://sejarahundonesiamerdeka.blogspot.com/2008/07/tradisi-sejarah-dalam-masyarakat.html

http://www.wacananusantara.org/2/272/tradisi-sejarah-dalam-masyarakat-indonesia?PHPSESSID=46a99e5669bae3a2278472174adc358b

Sejarah Meneguhkan Masa Depan

Donny Syofyan

Mahasiswa Pascasarjana The Australian National University, Canberra

Dosen Fakultas Sastra Unand

Kita sering mendengar adanya hubungan erat antara masa lalu, hari ini dan waktu yang akan datang. Sejarah mengajarkan kita bagaimana memahami hubungan semua ini. Namun benarkan proposisi ini? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut dikarenakan beragamnya kontradiksi pandangan seputar pentingnya sejarah.

Adlai Stevenson (1900-1995), seorang kandidat presiden Amerika Serikat pada pemilu 1956, mengatakan, “Kita bisa memetakan masa depan kita dengan jelas dan bijaksana hanya bila kita mengetahui masa lalu yang telah membawa kita kepada hari ini (We can chart our future clearly and widely only when we know the past which has lead us to the present). Sementara itu, Jules de Goncourt (1830-1870) mengatakan hal yang berseberangan, “Hanya ada dua arus besar dalam sejarah manusia: kerendahan budi yang melahirkan orang-orang konservatif dan keirian yang membuat manusia-manusia revolusioner” (There are only two great currents in the history of mankind: the baseness which makes conservatives and the envy which makes revolutionaries).

Pasal sepakat atau tidak dengan proposisi di atas, hemat saya, dalam beberapa hal tergantung pada ‘pelajaran sejarah’ yang kita terima masa lalu. Pada satu sisi, bila kita mendapatkan pelajaran yang bagus dan benar dalam sejarah, boleh jadi kita melihat adanya relasi antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Di sisi lain, jika apa yang kita peroleh di masa lalu hanya sebatas pelajaran menghapal ‘fakta mati’ dari peristiwa-peristiwa yang berlalu, tentu kita tidak bakal mampu memafhumi ketiga relasi di atas. Karenanya, proposisi tersebut akan ditolak.

Secara pribadi, saya tidak pernah menerima mata pelajaran sejarah yang sensible sebelum saya menaiki jenjang perguruan tinggi. Perguruan tinggilah—lewat interaksi intensif dengan mereka yang benar-benar paham sejarah—membuat saya mengerti apa dan pentingnya sejarah dan maksud proposisi di atas.

Allan Bloom menyajikan makna proposisi tersebut dengan ringkas, “Kita membutuhkan sejarah, bukan untuk mengatakan kepada kita apa yang terjadi pada masa silam atau menjelaskan masa lalu, tapi membuat masa silam itu hidup sehingga ia bisa menjelaskan kepada kita dan membuat masa depan menjadi mungkin” (We need history, not to tell us what happened or to explain the past, but to make the past alive so that it can explain us and maka a future possible) [The Closing of the American Mind, 1987].

Lalu, apakah sejarah? Dan apakah pemahaman sejarah?

Philip H. Phenix mendefinisikan sejarah sebagai “rekreasi imajinatif kejadian-kejadian masa lalu manusia yang paling baik cocok dengan bukti masa kini” (imaginative creative of past human events that best accords with the evidence of the present). Dengan demikian, kajian sejarah adalah “sejarah tentang apa yang telah diperbuat manusia tentang dirinya dalam konteks lingkungan fisik dan sosial. Ia adalah riwayat tentang petualangan moral manusia, tentang keputusan baik dan buruk, dan tentang pertimbangan yang (semuanya) disibakkan dalam konsekuansi-konsekuansinya” (the story of what human beings have made of themselves within the context of their physical and social environments. It is the account of the moral adventure of mankind, of decisions for good and for evil, and of the judgements revealed in the consequences).

Ringkasnya, “sejarah adalah kajian tentang apa yang sengaja dilakukan manusia di masa lalu” (history is the study of what human beings have deliberately done in the past). Karena masa silam telah berlalu, “meninggalkan hanya jejak-jejak pada dirinya” (leaving only traces of itself). Phoenix menulis bahwa peristiwa-peristiwa bersejarah hanya bisa dipahami dengan “memperbaiki masa lalu setepat mungkin, …dan dengan memandang peristiwa-peristiswa tersebut sebagai hasil dari keputusan eksistensial pribadi pada saat-saat tertentu” (restoring the past as faithfully as may be,…, and by conceiving those events as outcomes of personal existential decisions at particular times).

Untuk itu, menjadikan masa lalu hidup kembali dalam konteks kekinian mensyaratkan keterlibatan aktif dengan orang-orang yang membuat sejarah dan menganggap mereka sebagai subjek moral yang terlibat dalam perjuangan dalam mengisi takdir mereka.

Apakah sejarah pernah diajarkan dengan cara-cara seperti ini di sekolah-sekolah kita? Saya cenderung menjawab pertanyaan ini secara negatif. Kesalahan terbesar yang “terukir” di sebagian besar sekolah-sekolah kita adalah sejarah seringkali dikelirukan dengan “kronik” (chronicle), yakni daftar peristiwa-peristiwa yang terjadi menurut deret hitung peristiwa itu terjadi. Yang luput dari perhatian kita adalah bahwa kajian sejarah sejatinya terkait erat dengan kejadian-kejadian manusia masa lalu yang harus ditelaah sebagai implikasi pembebasan manusia. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa unsur-unsur kronik bukanlah peristiwa-peristiwa manusia melainkan “prilaku terluar” (outward behavior). Kronik, karenanya, adalah “kerangka sejarah” (the skeleton of history), atau sejarah tanpa “prinsip yang menghidupkan” (animating principle), sejarah tanpa signifikansi personal.

Menyentuh kerangka saja tidak akan mendidik generasi muda untuk mampu menangkap “semangat zaman” (spirit of the time). Dengan arti kata, pengajaran kronik semata tidak akan memandu generasi muda mendapatkan wawasan yang terkait dengan proses mental peristiwa masa lalu yang masih berlangsung dalam jiwa dan pikiran bangsa. Pada level ekstrem, kecenderungan yang berlebihan pada kronik hanya berakibat pada munculnya sebuah kealpaan psikologis dan drama etika yang kian parah di negeri ini, khususnya di kalangan kawula muda, yang bernama “buta sejarah”. Bila kita tidak tahu “akar tunggang” dari pelbagai krisis yang melanda negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa melakukan pembebasan untuk menyongsong masa depan?

Tanpa adanya reformasi pengajaran sejarah yang serius, jangan harap lahirnya tunas-tunas muda bangsa yang paham dengan karkater bangsa dan sadar posisinya selaku pemilik masa depan. Jangan pula berharap akan munculnya pemuda dan pemudi yang kritis untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dan arif untuk mengambil yang terbaik di masa silam guna direkonstruksi sesuai kebutuhan dewasa ini.

Mengingat proses “penemuan sejarah” (historical recovery) adalah sebuah proyek dan proses kolektif lintasgenerasi, program perbaikan sistem dan metode pengajaran sejarah perlu dilihat sebagai persoalan mendesak dalam reformasi sistem pendidikan kita. Penangguhan yang tidak tentu dalam upaya perbaikan ini hanya membuat larut apa yang bisa disebut sebagai “kelembaman nasional” (national inertia).

Bisakah program demikian didisain dan diimplementasikan? Saya yakin bisa. Sungguhpun saya tidak punya, atau belum punya, pengalaman mengajarkan sejarah, saya percaya bahwa kita punya ratusan guru sejarah yang berpengalaman dalam sistem kita untuk membimbing sekolah-sekolah kita menuju metode pengajaran sejarah yang otentik, jujur dan ‘tercerahkan’. Diharapakan reformasi pengajaran sejarah ini pada akhirnya akan membangkitkan sense of ideal bangsa ini untuk masa depan. Memahami sense of ideal ini amat krisial, seperti yang dinyatakan oleh Abba Eban pada 1986, “Suatu bangsa menulis sejarahnya dalam citra idealnya” (A nation writes its history in the image of its ideal). Saya percaya bahwa kita akan berhenti menjadi bangsa yang ragu-ragu mengenai masa depan kita begitu kita mengerti bahwa cita dan ideal kita adalah untuk masa depan negeri ini, terutama kaum muda sebagai pelaku sejarah umat manusia abad-aband mendatang.

http://donnysyofyan.blog.friendster.com/2007/09/sejarah-meneguhkan-masa-depan/

Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai peristiwa?

Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah ummat, bangsa, negara, maupun individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri.. Oleh karena itu tanpa mengetahui sejarah, maka proses kehidupan tidak akan dapat diketahui. Dengan demikian melalui sejarah itu pulalah manusia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan suatu ummat, bangsa, negara dan sebagainya. Di antara pelajaran penting yang dapat diambil dari sejarah adalah mengambil sesuatu yang baik dari suatu ummat, bangsa dan negara untuk senantiasa dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan terhadap hal-hal yang tidak baik, sedapat mungkin ditinggalkan dan dihindari.

Sejarah pada hakekatnya dibatasi oleh dua pengertian yaitu sejarah dalam arti subyektif dan sejarah dalam arti obyektif. Sejarah dalam arti subyektif adalah bangunan yang disusun oleh penulis sebagai suatu uraian atau cerita, maka memuat unsur-unsur dan isi penulis atau pengarang (subyek). Sedangkan sejarah dalam arti obyektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri atau keseluruhan pada proses peristiwa atau kejadian berlangsung terlepas dari unsur-unsur subyek seperti pengamat atau pencerita.

Dari penjelasan di atas apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah memahami silahkan pelajari kembali penjelasan berikutnya. Setiap peristiwa kejadian yang berlangsung dalam suatu masyarakat, kalau dilihat dari segi waktu, maka akan terlihat adanya 4 hal, yaitu:
a) perkembangan;
b) kesinambungan;
c) pengulangan; dan
d) pergeseran.

Mengenai contoh dari 4 hal tersebut dapat Anda temukan pada setiap peristiwa/kejadian dalam sejarah
........................
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080721073745AA55awp

Senin, 08 Juni 2009

SEJARAH SEBAGAI SENI

Sejarah sebagai seni nampak dalam ciri-ciri sebagai berikut (Kuntowijoyo, 1995) :
1. Sejarah memerlukan intuisi.
Kerja sorang sejarawan tidak cukup hanya mengandalkan metode dan rasionalitas yang dimilikinya, melainkan pula memerlukan intuisi yang berlangsung secara naluriah atau instinktif. Ini terjadi bukan saja dalam tahap interpretasi ataupun historiografi, melainkan berlangsung pada seluruh proses kerja sejarawan. Proses heuristik juga memerlukan ars in veniendi (seni mencari).

2. Sejarah memerlukan imaginasi.
Penggunaan imaginasi di dalam penulisan sejarah sangat penting dalam menyusun deskripsi sejarah. Imaginasi membantu untuk mampu membayangkan bagaimana proses sejarah itu terjadi. Sekalipun sejarah tak dapat dilepas dari imaginasi, namun sejarah tetap sejarah dan bukannya fiksi. Kebenaran objektivitas dan faktual sejarah tetap menjadi landasan kerja bagi seorang sejarawan.

3. Sejarah memerlukan emosi.
Sejarah yang dibahas adalah sejarahnya manusia. Manusia utuh adalah seorang pribadi yang bukan saja memiliki pikiran, namun juga memiliki perasaan. Untuk itu di dalam membuat deskripsi sejarah seorang sejarawan harus mampu menyatukan diri secara padu dengan objek yang ingin dideskripsikan. Bercerita tentang sejarah harus mampu menghadirkan objek ceritanya kepada pembaca atau pendengarnya seolah-olah mereka berhadapan sendiri dengan tokoh yang diceritakan. Sejarawan memerlukan emphati ( perasaan ) dengan segala afeksi-nya.

4. Sejarah memerlukan gaya bahasa.
Penulisan gaya bahasa memiliki peranan yang penting dalam mengkomunikasikan kisah atau cerita sejarah. Hasil penulisan sejarah tersebut menarik atau tidaknya cerita sejarah banyak bergantung pada gaya penyampaiannya. Gaya bahasa yang baik tidak harus berarti menggunakan bahasa yang berlebihan. Di dalam penulisan sejarah harus menggunakan bahasa yang efektif. Kadang-kadang bahasa sederhana justru lebih menarik dan komunikatif. Hanya harus diperhatikan bahwa seorang sejarawan harus mampu memberikan deskripsi secara detail. Sejarawan harus mampu mendeskripsikan peristiwa sejarah sebagai layaknya seorang pelukis melukiskan secara naturalis.
Sejarah sebagai seni menjadi nyata mempunyai kedudukan dengan ditempatkannya Jurusan Sejarah di universitas-universitas sebagai bagian dari Fakultas Ilmu Budaya. Bukan tanpa alasan ilmu sejarah berupaya menampilkan segala sesuatu yang sungguh faktual, namun yang faktual itu dikomunikasikan dengan cara dan gaya yang menarik, agar keindahan-Nya dapat dinikmati.
SUMBER TULISAN :
http://education.feedfury.com/content/17144179-sejarah_sebagai_ilmu.html

Penelitian Sejarah

Bidang penelitian sejarah jika dipandang dari dimensi manusia (in human dimension) sejarah mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Sejarah, karenanya, merupakan bidang ilmu pengetahuan dan bidang penelitian yang sangat luas, seluas waktu, tempat, dan dimensi (aspek) kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian bidang studi, kajian, atau penelitian sejarah tak dapat tidak harus dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sesuai dengan waktu, ruang, dan dimensi atau aspek-aspek kehidupan yang ingin dikajinya. Namun sejarah harus dikaji pula secara dan sebagai keseluruhan dan kesatuan yang padu dari ketiga-tiganya, waktu (time), ruang (space) dan dimensi (dimension) manusia. Maka terdapat pula 3 (tiga) macam pembagian bidang sejarah, yang berdasarkan periode waktu, wilayah geografis, dan tema (dimensi atau aspek kehidupan)-nya :

1. Berdasarkan Periode Waktu
Berdasarkan periode waktunya bidang penelitan sejarah dapat dibagi menjadi 5 (lima) periode atau masa:
(1) Periode atau Masa Prasejarah,
(2) Periode atau Masa Kuno,
(3) Periode atau Masa Madya (Pertengahan),
(4) Periode atau Masa Modern (Baru),
(5) Periode atau Masa Mutakhir (Kontemporer)

2. Berdasarkan Wilayah Geografis :
Berdasarkan wilayah geografisnya (dari yang paling luas hingga yang paling kecil sempit wilayahnya) sejarah terbagi menjadi :
(1) Sejarah Dunia (World History) : mencakup seluruh dunia
(2) Sejarah Wilayah (Area History) : seperti Sejarah Asia Timur, Sejarah Asia-Pasifik, Sejarah Asia Tenggara, Sejarah Asia Selatan, Sejarah Asia Barat, Sejarah Amerika Utara, Sejarah Amerika Latin, Sejarah Afrika Utara, dan lain sebagainya.
(3) Sejarah (Negara) Nasional : seperti Sejarah (Nasional) Indonesia, Sejarah Jepang, Sejarah Cina, Sejarah Filipina, Sejarah India, dan sebagainya.
(4) Sejarah Daerah (regional history) : seperti misalnya buku Anton E. Lucas : Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (1989).
(5) Sejarah Kota : seperti buku Clifford Geertz : The Social History of an Indonesian Town (1965). Juga buku Y.M. Yeung dan C.P. Lo (eds): Chaning South-East Asian Cities : Reading on Urbanization (1976).
(6) Sejarah Desa : seperti buku Koentjaraningrat (ed) : Villages in Indonesisa (1967); Buku Burger, D.H.: Laporan mengenai Desa Pekalongan dalam Tahun 1869 dan 1928 (Jakarta : Bhratara,1971).

3. Berdasarkan Tema (dimensi atau aspek kehidupan) :
Berdasarkan temanya dapat berbentuk :
(1) Sejarah Politik,
(2) Sejarah Ekonomi,
(3) Sejarah Sosial,
(4) Sejarah Budaya,
(5) Sejarah Seni,
(6) Sejarah Ilmu Pengetahuan,
(7) Sejarah Teknologi
(8) Sejarah Pertanian,
(9) Sejarah Pelayaran dan Perdagangan,
(10) Sejarah Perindustrian
(11) Sejarah Hukum,
(12) Sejarah Konstitusi,
(13) Sejarah Diplomasi,
(14) Sejarah Agama,
(15) Sejarah Militer,
(16) Sejarah Maritim,
(17) Sejarah Ruang Angkasa,
(18) Sejarah Perang,
(19) Sejarah Perdamaian, dan lain sebagainya.
4. Arah Baru Penelitian
Di samping ketiga bidang penelitian sejarah sebagai tersebut di atas, akhir-akhir ini nampak adanya suatu arah baru (new directions) dalam bidang penelitian sejarah, terutama di negara-negara maju (Jules R. Benjamin, 1982 : 9-10). Sejarawan-sejarawan mulai menjajagi aspek-saspek lain dari masa lampau. Sejarawan-sejarawan psycho (psychohistorians) mulai mengkaji perkembangan emosional dari individu-individu, keluarga, bahkan kelompok-kelompok. Mereka mencoba menjelaskan tindakan-tindakan, pendapat, serta reaksi emosional sebagian masyarakat terhadap perkembangan-perkembangan sosial akhir-akhir ini seperti perang, depresi, konflik antar kelompok dan etnik. Arah baru lainnya adalah sejarah sains dan teknologi (history of science and technology). Fokusnya di sini adalah pada evolusi ilmu pengetahuan, ialah bagaimana tumbuhnya suatu pengetahuan dan bagaimana pula pengaruh dan aplikasinya dalam masyarakat. Sejarah demografi (historical demography) mengkaji jumlah dan distribusi penduduk dan dampaknya terhadap perubahan-perubahan sosial, juga merupakan salah satu sisi dari arah baru studi sejarah. Sejarah etnik (etnohistory) adalah cabang sejarah budaya yang mengkaji budaya-budaya individual atau kontak antar budaya yang berbeda, agar dapat melacak sebab-sebab perubahan budaya. Sedang sejarawan-sejarawan lingkungan (environmental historians) menguji interaksi antara komunitas manusia dengan habitat mereka.
Bidang baru penelitian sejarah lainnya ialah studi kehidupan pribadi (private life), suatu subjek kajian yang memiliki signifikansi histories yang tidak kalah menariknya. Bidang ini termasuk sejarah keluarga, sejarah olah raga, sejarah film, sejarah anak-anak, dan yang cukup berkembang dan berpengaruh adalah studi sejarah wanita.
Reorientasi bidang-bidang tradisional dalam penelitian sejarah juga merupakan suatu arah baru. Jadi, sekarang terdapat bidang-bidang : sejarah sosial ’’baru’’, sejarah politik ’’baru’’, dan juga sejarah ekonomi ’’baru’’. Beberapa ahli di bidang-bidang ini ingin melihat perkembangan lebih jauh berdasarkan hasil-hasil studi yang telah ada untuk mendapatkan bukti-bukti perkembangan baru perilaku-perilaku kelompok mengenai : pola pemberian suara (voting), keanggotaan kelompok, affiliasi keagamaan, standar hidup, dan lain sebagainya. Bukti-bukti tersebut digunakan untuk memantapkan pemahaman mengenai aspek-aspek dasar kehidupan di masa lampau dan untuk menguji akurasi asumsi-asumsi yang dibuat oleh para ahli dengan bukti-bukti yang lebih impresionistik, yakni : buku harian, pidato-pidato publik, novel, sejarah kontemporer, peristiwa-peristiwa politik, dan sebagainya.
Dua arah ’’baru’’ penelitian sejarah, yang sebenarnya sudah sangat tua adalah : genealogi dan sejarah lokal. Bidang-bidang ini kembali menjadi penting terutama untuk memperkokoh dan menemukan kembali asal-usul pribadi dan keluarga dan kekerabatan mereka di masa lampau. Genealogi adalah cabang studi sejarah keluarga (family history). Sejarah lokal (local history) membangkitkan kembali entusiasme dan afeksi para penghuninya, juga para ahli, untuk meneliti mengenai evolusi kota, komunitas, dan lingkungan sekitarnya.
Arah-arah baru bidang penelitian ini diharapkan memperkaya dan memberi perspektif baru dalam pengembangan penelitian sejarah yang sudah ada.
sumber tulisan :
http://education.feedfury.com/content/17146946-bidang_penelitian_sejarah.html

SITUS PURBAKALA GOA BATU BABI

TEMPAT TINGGAL MASYARAKAT PRASEJARAH GUA BABI
DESA RANDU KECAMATAN MUARA UYA
ISI RIWAYAT SINGKAT

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Balai Arkeologi Banjarmasin berupa ekskavasi ( penggalian arkeologi ) dan penetapan terhadap situs prasejarah GUA BABI pada tanggal 19 Maret sampai dengan 1 April 1996 yang merupakan tindak lanjut dari survey prasejarah di Pegunungan Meratus pada tahun 1995. Situs ini terletak di desa Randu, Kecamatan Muara Uya, kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Hasil penelitian ini sangat penting bagi pemahaman proses budaya dan kronologi prasejarah setempat secara khusus dan Kalimantan secara umum, yang pernah terjadi sejak akhir Kala Plestosen dan awal Kala Holosen, sekitar 10.000 tahun yang silam. Ciri budaya yang berhasil diidentifikasi adalah pemanfaatan gua untuk pemukiman, dengan berbagai tinggalan yang terutama mengacu pada tingkatan tekhnologi mesolitik ( tekhnologi batu madya ) dan neolitik ( tekhnologi batu muda ).
Hasil-hasil penelitian adalah sebagai berikut :

Gua Babi merupakan salah satu gua dari sekitar 45 gua yang ada pada pegunungan karet di Desa Randu di kaki barat pegunungan Meratus. Morfologi gua merupakan gabungan antara gua ( cave ) dan ceruk paying ( rock shelter ) ceruk payung merupakan teras gua ( selanjutnya disebut teras gua ) berukuran panjang 25 meter ( utara selatan ) dan lebar 10 meter ( timur barat ). Penelitian tahun 1995/1996 difokuskan diteras gua berdasarkan temuan permukaan berupa konsentrasi sisa-sisa makanan berupa cangkang-cangkang kerang ( gastropoda ) = siput, dan pelecpoda = kerang ) dalam konteks erat dengan peralatan manusia prasejarah berupa alat-alat batu berbentuk serpih dan bilah, dan juga temuan gerabah polos maupun gerabah hias. Empat buah kotak ekskavasi telah dibuka selama penelitian dengan kedalaman antara 120 cm hingga 220 cm, ditujukan untuk mendapatkan data mengenai lapisan budaya ( cultural layers ), untuk penjelasan mengenai proses-proses budya.

Penggalian keempat kotak eksvasi menunjukkan hasil yang sangat signifikan. Pada kedalaman sekitar 20 cm dari permukaan teras, ditemukan lapisan arkeologis yang dicari, yaitu berupa tumpukan kerang Gastropoda yang bercampur dengan alat­alat batu dalam kuantitas sangat padat, dan juga pecahan-pecahan gerabah polos dan berhias, bercampur dengan berbagai sisa binatang darat ( terrestrial animal ) dan binatang air ( aquatic animal ). Lapisan budaya ini praktis mencakup seluruh teras gua, kecuali teras tertinggi di bagian selatan. Lapisan budaya dibagian tengah gua bercampur dengan abu dan arang sisa pembakaran, sehingga di interprestasikan bahwa pengolahan makanan dilakukan pada teras bagian tengah.

Temuan – temuan terdiri atas :
a. Alat-alat batu : Kuantitas padat, hingga kedalaman 150 cm. Tipologi yang diperoleh adalah alat serpih, bilah, serut, bor dan juga alat-alat massif berupa kapak perimbas.
Mayoritas alat-alat ini adalah alat-alat mesolitik, disertai pula oleh beberapa tekhnologi lebih tua dari tingkatan paleolitik. Dilain pihak, juga ditemukan beberapa buah batu guling ( pestle ), yang jelas merupakan salah satu unsur budaya neolitik.
b. Pecahan tembikar : sebagian besar merupakan tembikar berhias, dibuat dengan tatap Pelandas ( paddle and anvil ) yang di gabungkan dengan roda putar (wheel). Hiasan yang menonlol adalah hias tera tatap ( paddle marked ) yang terdiri dari berbagai motif hias yaitu tatap tali ( cord-mark ) dan jala. Hias tatap tali merupakan unsur hiasan yang sangat tua, yang sudah muncul sejak tingkatan neolitik.
c. Alat-alat tulang : ditemukan pada kedalaman 60-80 cm, berupa penusuk ( point ), atau sumpit, salah satu tulang dikerjakan, berasal dari tulang lengan monyet yang dengan sengaja dilubangi, mungkin dipakai sebagai perhiasan.
d. Sisa-sisa kerang : ditemukan sangat rapat dan padat pada lapisan arkeologis, berasal dari bangsa Gastropoda ( siput ) dan Pelecypoda ( kerang ).
e. Sisa-sisa binatang vertebrata : ditemukan sejak permukaan tanah hingga kedalaman 220 cm. Jenisnya berupa binatang kecil ( mikrofauna ). Identifikasi menunjukkan jenis-jenis : kerbau ( Bovidae ), rusa ( Cervidae ), babi hutan ( Sus barbatus ), kancil ( Tragulida ), beruang ( ursus sp ), landak ( Hystricidae ), tikus ( Maridae ), bulus ( Testudinidae ), biawak ( paranidae ), dan ular sanca ( phyton ). Analisis kontektual menunjukkan bahwa binatang-binatang ini juga merupakan bagian subsistensi dari penghuni Gua Babi.
f. Sisa-sisa manusia : merupakan fragmen-fragmen tengkorak, gigi, dan tangan. Secara lebih rinci temuan tersebut adalah pecahan tengkorak parietal dan occipital, gigi taring ( canin ) rahang atas ( maxilia ) kiri dan taring rahang bawah ( mandibula ) kanan serta bagian tulang tangan ( phalanx ). Sebagian dari pragmen tengkorak sudah mengalami proses fosollisasi cukup lanjut. Jenis taxon : Homo sapiens.

Secara kontekstual antara lapisan tanah, lapisan budaya, dan jenis-jenis temuan, diketahui bahwa Gua babi ini merupakan salah satu tempat hunian sementara ( settement) di masa prasejarah, dimana manusia pendukung budaya di gua ini masih melakukan pengumpulan makanan ( foot-gathering )dari sumber-sumber makanan disekitarnya. Sudah pasti, bahwa mereka mencari makanan utama dari siput dan kerang air tawar, yang di bawa kegua untuk dimasak dibagian tengah teras gua. Selain itu, temuan sisa-sisa binatang vertebrata yang cukup melimpah hingga kedalaman 150 cm, menunjukkan bahwa perburuan binatang juga menjadi salah satu model subsistensi manusia diteras gua, dan bahkan ditemukan kapan perimbas dan penusuk dari batu gamping kersikan ( silicified-limestones ) yang ujungnya terdapat warna merah. Analisis mengaskopis terhadap warna merah ini diduga berasal dari darah binatang buruan pada saat pengolahan makanan, yang kemudian terserap oleh batu gamping sebagai bahan dasar pembuatan kapak perimbas tersebut, dan kemudian mengering.

Pertanggalan ( dating ) absolut ) dari okupasi manusia di Gua Babi belum dapat dipastikan saat ini. Karena pertanggalan untuk lapisan budaya baru akan dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melalui metode pertanggalan Carbon-14 dengan memakai sampel arang dan kerang dari sisa pembakaran di bagian tengah gua. Meskipun demikian , berdasarkan analisis artefaktual dan kontektual, dapat dinyatakan bahwa gua ini sudah dihuni sejak tingkatan mesolitik hingga neolitik. Dalam konsepsi pengkerangkaan masa prasejarah secara umum di Indonesia, tingkatan tersebut sebanding dengan periode masa antara 1.000 hingga 4.000 tahun lalu. Penggalian oleh Balai Arkeologi Banjarmasin belum mencapai lapisan steril. Dengan unsure temuan kapak perimbas yang merupakan salah satu unsur temuan lebih tua, yaitu tingkatan paleolitik, maka ada keungkinan besar bahwa Gua Babi ini sudah di huni sejak Kala Plestosen.

Situs Gua Babi merupakan situs sangat penting bagi pemahaman pemanfaatan gua sebagai sarana tempat tinggal, yang selama ini belum pernah ditemukan di Kalimantan. Lebih dari itu, situs ini juga merupakan bahan telaah penting dalam penjelasan aspek migrasi yang terjadi pada periode Pasca-plestosen di Indonesia bagian tengah, terutama dalam kaitannya dengan gelombang migrasi dari utara ( Taiwan, Jepang dan Filipina ) dan penghunian gua-gua mesolitik di Silawesi. Oleh karena itu, Balai Arkeologi menganggap penting eksistensi situs Gua Babi, dan akan terus melakukan penelitian di Gua Babi untuk penjelasan masalah hunian gua, model subsitensi manusia pendukungnya, system penguburan gua maupun proses migrasi Pasca-Plestosen di Indonesia bagian tengah.

Dengan hasil penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa Gua Babi termasuk dalam kategori Benda Cagar Budaya ( BCB ), yang dilindungi oleh UU Nomor 5 tahun 1992, khususnya BAB I Pasal I.

SUMBER TULISAN :

http://hapbiker.wordpress.com/2008/11/10/situs-purbakala-goa-batu-babi/