Minggu, 21 Juni 2009

Sejarah Meneguhkan Masa Depan

Donny Syofyan

Mahasiswa Pascasarjana The Australian National University, Canberra

Dosen Fakultas Sastra Unand

Kita sering mendengar adanya hubungan erat antara masa lalu, hari ini dan waktu yang akan datang. Sejarah mengajarkan kita bagaimana memahami hubungan semua ini. Namun benarkan proposisi ini? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut dikarenakan beragamnya kontradiksi pandangan seputar pentingnya sejarah.

Adlai Stevenson (1900-1995), seorang kandidat presiden Amerika Serikat pada pemilu 1956, mengatakan, “Kita bisa memetakan masa depan kita dengan jelas dan bijaksana hanya bila kita mengetahui masa lalu yang telah membawa kita kepada hari ini (We can chart our future clearly and widely only when we know the past which has lead us to the present). Sementara itu, Jules de Goncourt (1830-1870) mengatakan hal yang berseberangan, “Hanya ada dua arus besar dalam sejarah manusia: kerendahan budi yang melahirkan orang-orang konservatif dan keirian yang membuat manusia-manusia revolusioner” (There are only two great currents in the history of mankind: the baseness which makes conservatives and the envy which makes revolutionaries).

Pasal sepakat atau tidak dengan proposisi di atas, hemat saya, dalam beberapa hal tergantung pada ‘pelajaran sejarah’ yang kita terima masa lalu. Pada satu sisi, bila kita mendapatkan pelajaran yang bagus dan benar dalam sejarah, boleh jadi kita melihat adanya relasi antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Di sisi lain, jika apa yang kita peroleh di masa lalu hanya sebatas pelajaran menghapal ‘fakta mati’ dari peristiwa-peristiwa yang berlalu, tentu kita tidak bakal mampu memafhumi ketiga relasi di atas. Karenanya, proposisi tersebut akan ditolak.

Secara pribadi, saya tidak pernah menerima mata pelajaran sejarah yang sensible sebelum saya menaiki jenjang perguruan tinggi. Perguruan tinggilah—lewat interaksi intensif dengan mereka yang benar-benar paham sejarah—membuat saya mengerti apa dan pentingnya sejarah dan maksud proposisi di atas.

Allan Bloom menyajikan makna proposisi tersebut dengan ringkas, “Kita membutuhkan sejarah, bukan untuk mengatakan kepada kita apa yang terjadi pada masa silam atau menjelaskan masa lalu, tapi membuat masa silam itu hidup sehingga ia bisa menjelaskan kepada kita dan membuat masa depan menjadi mungkin” (We need history, not to tell us what happened or to explain the past, but to make the past alive so that it can explain us and maka a future possible) [The Closing of the American Mind, 1987].

Lalu, apakah sejarah? Dan apakah pemahaman sejarah?

Philip H. Phenix mendefinisikan sejarah sebagai “rekreasi imajinatif kejadian-kejadian masa lalu manusia yang paling baik cocok dengan bukti masa kini” (imaginative creative of past human events that best accords with the evidence of the present). Dengan demikian, kajian sejarah adalah “sejarah tentang apa yang telah diperbuat manusia tentang dirinya dalam konteks lingkungan fisik dan sosial. Ia adalah riwayat tentang petualangan moral manusia, tentang keputusan baik dan buruk, dan tentang pertimbangan yang (semuanya) disibakkan dalam konsekuansi-konsekuansinya” (the story of what human beings have made of themselves within the context of their physical and social environments. It is the account of the moral adventure of mankind, of decisions for good and for evil, and of the judgements revealed in the consequences).

Ringkasnya, “sejarah adalah kajian tentang apa yang sengaja dilakukan manusia di masa lalu” (history is the study of what human beings have deliberately done in the past). Karena masa silam telah berlalu, “meninggalkan hanya jejak-jejak pada dirinya” (leaving only traces of itself). Phoenix menulis bahwa peristiwa-peristiwa bersejarah hanya bisa dipahami dengan “memperbaiki masa lalu setepat mungkin, …dan dengan memandang peristiwa-peristiswa tersebut sebagai hasil dari keputusan eksistensial pribadi pada saat-saat tertentu” (restoring the past as faithfully as may be,…, and by conceiving those events as outcomes of personal existential decisions at particular times).

Untuk itu, menjadikan masa lalu hidup kembali dalam konteks kekinian mensyaratkan keterlibatan aktif dengan orang-orang yang membuat sejarah dan menganggap mereka sebagai subjek moral yang terlibat dalam perjuangan dalam mengisi takdir mereka.

Apakah sejarah pernah diajarkan dengan cara-cara seperti ini di sekolah-sekolah kita? Saya cenderung menjawab pertanyaan ini secara negatif. Kesalahan terbesar yang “terukir” di sebagian besar sekolah-sekolah kita adalah sejarah seringkali dikelirukan dengan “kronik” (chronicle), yakni daftar peristiwa-peristiwa yang terjadi menurut deret hitung peristiwa itu terjadi. Yang luput dari perhatian kita adalah bahwa kajian sejarah sejatinya terkait erat dengan kejadian-kejadian manusia masa lalu yang harus ditelaah sebagai implikasi pembebasan manusia. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa unsur-unsur kronik bukanlah peristiwa-peristiwa manusia melainkan “prilaku terluar” (outward behavior). Kronik, karenanya, adalah “kerangka sejarah” (the skeleton of history), atau sejarah tanpa “prinsip yang menghidupkan” (animating principle), sejarah tanpa signifikansi personal.

Menyentuh kerangka saja tidak akan mendidik generasi muda untuk mampu menangkap “semangat zaman” (spirit of the time). Dengan arti kata, pengajaran kronik semata tidak akan memandu generasi muda mendapatkan wawasan yang terkait dengan proses mental peristiwa masa lalu yang masih berlangsung dalam jiwa dan pikiran bangsa. Pada level ekstrem, kecenderungan yang berlebihan pada kronik hanya berakibat pada munculnya sebuah kealpaan psikologis dan drama etika yang kian parah di negeri ini, khususnya di kalangan kawula muda, yang bernama “buta sejarah”. Bila kita tidak tahu “akar tunggang” dari pelbagai krisis yang melanda negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa melakukan pembebasan untuk menyongsong masa depan?

Tanpa adanya reformasi pengajaran sejarah yang serius, jangan harap lahirnya tunas-tunas muda bangsa yang paham dengan karkater bangsa dan sadar posisinya selaku pemilik masa depan. Jangan pula berharap akan munculnya pemuda dan pemudi yang kritis untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dan arif untuk mengambil yang terbaik di masa silam guna direkonstruksi sesuai kebutuhan dewasa ini.

Mengingat proses “penemuan sejarah” (historical recovery) adalah sebuah proyek dan proses kolektif lintasgenerasi, program perbaikan sistem dan metode pengajaran sejarah perlu dilihat sebagai persoalan mendesak dalam reformasi sistem pendidikan kita. Penangguhan yang tidak tentu dalam upaya perbaikan ini hanya membuat larut apa yang bisa disebut sebagai “kelembaman nasional” (national inertia).

Bisakah program demikian didisain dan diimplementasikan? Saya yakin bisa. Sungguhpun saya tidak punya, atau belum punya, pengalaman mengajarkan sejarah, saya percaya bahwa kita punya ratusan guru sejarah yang berpengalaman dalam sistem kita untuk membimbing sekolah-sekolah kita menuju metode pengajaran sejarah yang otentik, jujur dan ‘tercerahkan’. Diharapakan reformasi pengajaran sejarah ini pada akhirnya akan membangkitkan sense of ideal bangsa ini untuk masa depan. Memahami sense of ideal ini amat krisial, seperti yang dinyatakan oleh Abba Eban pada 1986, “Suatu bangsa menulis sejarahnya dalam citra idealnya” (A nation writes its history in the image of its ideal). Saya percaya bahwa kita akan berhenti menjadi bangsa yang ragu-ragu mengenai masa depan kita begitu kita mengerti bahwa cita dan ideal kita adalah untuk masa depan negeri ini, terutama kaum muda sebagai pelaku sejarah umat manusia abad-aband mendatang.

http://donnysyofyan.blog.friendster.com/2007/09/sejarah-meneguhkan-masa-depan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar