Jepang tiba di Indonesia pada 11 januari 1942 di Tarakan, Kalimantan Timur. Gerakan pasukan Jepang ini diikuti dengan upaya propaganda 3 A, yang akhirnya membuat Belanda menyerah pada tanggal 7 Maret 1942. Dari sinilah Jepang mulai menjajak sekaligus menjajah Indonesia. Masih dapat kami temui beberapa saksi betapa kerasnya Jepang pada masa penjajahannya. Kami menemui 4 saksi yang hidup pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kami cukup tertarik dengan cerita-cerita yang disuguhkan pada zaman pendudukan Jepang, mulai dari sudut pandang rakyat biasa, anak sekolah dasar, juru bahasa Jepang dampai anggota Seinendan.
Nara sumber kami yang pertama Bp. Soebadri yang beralamtkan di Bendan, Pati Kidul. Sekarang beliau berumut 84 tahun. Pada masa Jepang pendudukan Bp. Soebadri adalah seorang anggota Seinendan. Beliau berkisah bahwa dulu sebelum menjadi angota Seinendan, Bp. Soebadri bersekolah di kecamata lama yang sekarang ada di sekitar daerah SD Pati Wetan. Para pemuda kemudian dijadikan anggota Seinendan sedangkan para orang tua dijadikan romusha untuk melakukan proyek Jepang. Orang-orang tua ini tidak tidak digaji bahkan ada yang sampai dibunuh. Sedangkan para pemuda yang sedang dijadikan anggota Seinendan diajari huruf Jepang yaitu Hiragana, Katagana, dan Kanji yang menulisnya dari atas ke bawah.
Selain membentuk Seinendan, Jepang juga membentuk keibondan, Heiho, dan PETA. PETA merupana inisiatif dari Bung Karno dan Bung Hatta yang kemudian diusulkan kepada Jepang. Jepang membagi wilayah atas Syu yang bearti Karesidenan, Syi adalaj Kota, Ken Yaitu Kabupaten, Gun yang merupakan Kawedenan, Son adalah Kecamatan dan Ku yaitu Kelurahan.
Untuk kemiliteran Jepang sendiri di Pati, terdapat lapangan Halikopter yang berpusat di Regaloh, Kecamatan Tlogowungu. Di tempat tersebut terdapat juga asrama PETA.
Bp. Soebadri sendiri juga menegaskan bahwa hidup di zaman Jepang lebih sulit daripada di zaman penjajahan Belanda. Sangat sulit sekali untuk mendapatkan bahan makanan sehingga banyak penduduka yang kurang gizi. Tak jarang anak-anak sekolah juga disuruh mencari kepiting sawah/yuyu, talas dan jagung untuk dimasak. Banyak penduduk pribumi yang tidak makmur, kecuali yang menjadi pegawai-pegawai Jepang.
Jepang juga berbuat licik dengan merampas hasil panen penduduk serta mencurinya di saat penduduk sedang bersembunyi di belumbang karena takut ada bahaya.
Bp. Soebadri setelah menjadi Seinendan sempat juga ditawari untuk menjadi mandor petani yang saat itu diawasi secara ketat oleh kepala pertanian Jepang.
Ini membuktikan betapa kuatnya dominasi Jepang dalam mengatur segala aktivitas pendidikan Indonesia. Tetapi Bp. Soebadri menerangkan bahwa dengan sifat Jepang yang seperti itu penduduk Indonesia menjadi berani untuk melawan penjajahan. Lagipula Jepang tidak secara ketat membatasi rakyat untuk mengeyam pendidikan.
Kita juga harus berterima kasih kepada Jepang karena Jepang melatih rakyat Indonesia untuk bertempur. Karena hal tersebut mental rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan muncul dan berani melawan para penjajah yang datang ke Indonesia.
Narasumber kami yang kedua yaitu Ibu Karsih juga membeberkan mengenai hidup beliau pada zaman kependudukan Jepang. Secara umum hidup dijaman penjajahan Jepang lebih menderita daripada penjajahan Belanda. Untuk makan saja pada waktu itu makanan pokoknya taitu jagung, harus bersembunyi di “blumbang” yaitu semacam lorong yang dibuat didalam tanah. Apabila ketongongan dibunyikan sebagai pertanda ada bahaya, maka para penduduk akan bersembunyi, malahan kesempatan ini dimanfaatkan Jepang untuk mengambail beras dari penduduk.
Ibu Karsih juga bercerita bahwa penduduk disuruh untuk mengigit karet agar tidak kaget apabila bom dijatuhkan. Beliau yang saat itu hanya mengeyam pendidikan sampai kelas 2 SD/SR mengatakan bahwa beliau saat disekolah tidak diajari pelajaran tetapi Ibu Karsih dan teman-temannya disuruh mencari kepiring sawah/ yuyu untuk lauk. Sedangkan penduduk juga banyak yang disuruh bekerja untuk Jepang disebut juga romusha.
Kemudian naradumber kami yang ketiga yaitu Ibu Nasri berumur 76 tahun juga bersaksi betapa kerasnya Jepang pada mas itu. Beliau yang memiliki nama kecil Sukarsi ini bercerita tentang bahwa setiap ada sirene ataupun ada pesawat terbang yang lewat, beliau yang waktu itu masih duduk disekolah dasar disuruh untuk tiarap dan menggigit karet dan baru boleh melakukan aktivitas seperti biasa setelah sirene berbunyi lagi. Beliau yang pada masa Jepang tinggal di Bogorejo, Jepon, Kabupaten Blora ini juga mengaku bahwa pada masa pendudukan Jepang beras diserahkan kepada Jepang saat panen sehingga penduduk harus menyembunyikan berasnya apabila inggin makan nasi. Jepang juga memberikan jatah gula kepada penduduk yaitu setengah kilogram untuk setiap orang sehingga setiap orang hanya makan gula untuk bertahan hidup. Padahal seperti yang kita ketahui gula tidak baik untuk kesehatan apabila dikonsumsi secara berlebihan, sehingga pada waktu itu banyak penduduk yang tidak sehat dan banyak yang meninggal. Saking akehe penduduk yang meninggal jasad penduduk banyak yang tidak terurus karena tidak sempat dikubur.
Ibu Nasri yang pada waktu itu berprofesi sebagai pelajara sekolah dasar berkisah saat disekolah beliau tidak diajar pelajaran, tetapi hanya diajarkan olahraga dan mencari iles-iles atau tales, dan tanaman-tanaman jarak. Anak-anak sekolah waktu itu juga disuruh menghormati bendara Jepang kimigayo saat upacara dan diwajibkan menghadap ke timur.
Sedangkan narasumber ke-4 bapak M. Salekan yang berumur pada waktu Jepang 19 tahun dan umur sekarang 85 tahun. Pada waktu Jepang beliau bekerja sebagai juru bahasa Jepang, dan pekerjaan pensiunan yang berlamatkan di ds. Bendan.
Bp. M. Salekan merupakan juru bahasa Jepang PETA, beliau menerjemahkan behasa Jepang ke Indonesia ataupun sebaliknyan. Di ketentaraan PETA dibentuk pemuda Seinendan khusus mengenai kepemudaan. Juru bahasa biasanya disebut Chuyaku. Dulu didepan hotel Pati souete merupakan balai pertemuan untuk resting. Beliau membantu Jepang bersama angkatan kedua dan dikirim ke pangkalan udara bersama opsir-opsir dariu Bogor.
Dulu saat diasrama Jepang khususnya ketentaraan dibagi menjadi bebarapa Chudan, seperti pimpinan dari jawa yang biasa disebut Sudancuk, dan dari tiap-tiap pimpinan ada juru bahasanya. Dikententaraan Jepang dibagi terdiri atas pimpinan bagian administrasi, daidanchuk, dan markas Jepang (Homebhu). Tugas daidanchuk adalah untuk mempersiapkan tentara di tiap-tiap kabupaten. Beliau pernah bekerja dilapangan kapal terbang di Tlogowungu sebagai juru bahasa selama 1 tahun. Kemdian di rembang yaitu membuat terowongan oleh Kaigun (tentara pelaut). Selanjutnya markas dipindah ke Cepu guna untuk membuat kabupaten Blora. Saat di Jakarta beliau ditugaskan ke bagian asrama tentara. Ini merupkan strategi Jepang dalam memindah-mindah juru bahasa, supaya juru bahasa tidak mengetahui strategi Jepang yang asli. Beliau juga sempat menjadi juru bahasa di istana wapres selama 5 bulan.
Bp. Salehan selama hidupnya memang bekerja untuk Jepang tapi tidak begitu setia. Jadi beliau kurang tahu mengenai hal-hal diluar sana seperti rakyat biasa. Beliau hanya sempat mendengar saat ada sirene, Jepang mengambil beras-beras penduduk. Sedangkan masyarakat menyimpan berasnya di bumbung (pring). Untuk tentara jelas hidupnya berbeda dengan rakyat pribumi. Mereka tetap makan nasi hanya saja lauknya berbeda dengan petinggi Jepang dan sekaligus mendapat gaji sebesar 20 yen. Serta dapat keu mocchi (kue khas Jepang).
Maka dari itu kita tahu orang-orang yang masih makmur sampai sekarang kebanyakan dulunya merupakan tentara Jepang ataupun yang bekerja untuk Jepang, karena jelas hidupnya terjamin.
Narasumber yang terakhir adalah Bp. Soejoko, umur beliau sekarang adalah 72 tahun. Beliau pada waktu pendudukan Jepang berada di kelas 1 SR/SD. Alamat beliau sekarang di ds. Juanalan, Pati Kidul. Pada waktu penjajahan Jepang beliau beralamatkan di Madiun, Jawa Timur.
Bp. Joko mengkisahkan pada waktu pendudukan Jepang bahwa penjajahan Jepang lebih kejam dan lebih parah dibanding penjajahan Belanda. Hal ini disebabkan karena para tentara Jepang akan melakukan kekerasan lewat pukulan kalau ada salah seorang rakyat Indonesia yang melakukan kesalahan. Sedangkan para tentara Belanda akan main kata-kata kotor bila ada rakyat Indonesia yang melakukan kesalahan. Salah satu buktinya adalah dulu pada waktu penjajahan Jepang, ada salah seorang teman kakaknya Pak Joko yang disiksa sampai diinjak-injak tubuhnya. Seketika kakak Pak Joko langsung memukul tentara Jepang yang melakukan tindakan tersebut. Kemudian kaka Pak Joko langsung dibalas pukulan dengan gagang pistol laras panjang. Tapi tidak dibunuh
Pada waktu di kelas 1 SR beliau diajar dengan berbagai macam pelajarang. Seperti, bahasa Jepang, bahasa Indonesia, aljabar, tetapi pelajaran agama tidak ada, dan diganti menjadi pelajaran budi pekerti. Selain belajar Pak Joko dan teman-temannya disuruh oleh tentara Jepang untuk menanam tanaman jarak. Tidak hanya Pak Joko dan teman-temannya, keluarga merekapun disuruh bekerja rodi (romusha). Tapi ada juga beberapa orang yang tidak bekerja rodi, tapi dijadikan tetara oleh pemerintah Jepang. Mereka adalah para pemuda.
Para romusha yang dipaksa bekerja tidak ada yang memberontak. Karena pada awal Jepang masuk ke Indonesia, mereka disambut gembira oleh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia menganggap Jepang saudara tua Indonesia. Selain itu rakyat Indonesia tidak berdaya oleh kekuatan tentara Jepang. Para romusha disuruh bekerja untuk membuat sarana dan prasarana di Indonesia. Contohnya adalah pembuatan jalan, jembatan, gedung pertahanan, bahkan disuruh membuat benteng. Setelah sarana dan prasarana itu sudah selesai maka para pekerjanya akan dibunuh, supaya tidak ada yang memberitahu tempat-tempat tersebut. Karena tempat-tempat tersebut akan menjadi tempat perlindungan tetara Jepang.
Para pemuda Indonesia yang dikumpulkan akan dilatih oleh tentara Jepang untuk menjadi prajurit yang bagus dan setia. Mereka dilatih tentang kemiliteran, apabila ada musuh yang datang menyerang maka mereka akan siap untuk bertempur. Kalau mereka tertangkap oleh musuh, mereka akan melakukan Harakiri (bunuh diri) agar mereka tidak membocorkan rahasia lawan. Tidak hanya itu para tentara Jepang mendapat upah dan mereka boleh dipertemukan dengan keluarganya. Seperti yang dialami oleh kakak Pak Joko yang menjadi anggota PETA. Beliau boleh bertemu dengan keluarga asal tidak membocorkan hal-hal rahasia kepada keluarga. Kalau tidakan itu dilakukan dan tertangkap oleh pemerintah Jepang, maka Jepang tidak akan tanggung-tanggung untuk membunuh dia dan keuarganya. Betapa kejamnya Jepang.
Nara Sumber
NAMA : WIRYO SUPAR
UMUR SEKARANG : 81 TH / 18 JANUARI 1928
UMUR JAMAN JEPANG : 14 TH
ALAMAT : Ds. Guwo Kec. Tlogowungu Rt.02/Rw.IV
PEKERJAAN JAMAN JEPANG : PELAJAR SR
Pada jaman Jepang sangat memprihatinkan, semua beras harus diserahkan kepada Jepang. Sehingga hanya bisa makan ketela yang diparut, “sego brabuk” ( nasi jagung ). Kadang juga bisa makan nasi tetapi sembunyi-sembunyi, beras disembunyikan di dalam tanah atau dikubur. Setiap saat tentara Jepang akan memeriksa rumah, jika di entong masih tersisa bekas nasi ( upo ) maka tentara Jepang akan mencari beras tersebut dan jika ketemu akan dibawa semuanya serta disiksa. Pakainnya hanya dari “ ondol-ondol” terbuat dari kapas dan biasanya ada karung goni bagi yang mampu membeli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar